Friday, 18 November 2016

Sejarah Hukum Indonesia

Nama : Faris Ikhwan Erianto
NIM   : 201610110311183
Kelas  : I-D
Tugas  : TT 2

Sejarah Hukum Indonesia

           Sejarah politik hukum dalam penerapan tata hukum Indonesia adalah suatu  pencatatan dari kejadian-kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia di masa lalu yang perlu diketahui, diingat dan dipahami oleh setiap orang atau suatu bangsa Indonesia. Perlu diketahui dalam pengungkapan sejarah tata hukum dan politik hukum Indonesia sejak jaman perjuangan sampai jaman kemerdekaan dapat diklasifikasi menjadi beberapa fase, yaitu : (i) fase pra kolonial; (ii) fase kolonial; dan (iii) fase kemerdekaan.[1]

A. Fase Pra Kolonial

     Sejak zaman tandu di kepulauan nusantara ini telah ada suatu kehidupan. Akan tetapi, pencatatan dari kejadian-kejadian penting terhadap kehidupan bangsa Indonesia baru ada sejak memasuki abad I. Ini pun diketahui setelah ada penelitian-penelitian dari adanya peninggalan-peninggalan yang di temukan setelah kehidupan manusia berkembang dan masuknya kebudayaan dari luar, hubungan antar pulau mulai lancer. Maka terjadilah kehidupan kelompok sosial yang teratur dibawah kekuasaan seseorang atau beberapa orang yang dianggap kuat. Terhadap kehidupan ini aka nada bukti kebenaran yang ditulis agak sistematik, seperti yang terjadi antara lain adanya Sriwijaya, Pajajaran, Majapahit, Mataram dan sebagainya. Kehidupan bangsa Indonesia dalam bidang hukum yang mulai jelas dapat di ketahui, yaitu setelah kedatangan bangsa Eropa terutam orang-orang Belanda dengan usaha menanamkam pengaruhnya melalui penjajahan.[2]

B. Fase Kolonial
   
    Pada masa ini (kolonialisme), berlangsung sekitar 3 ½ abad sejak masa Vereenigde Oost Compagnie (VOC) pada akhir abad XVII, tatanan hukumnya dapat dikualifikasikan sebagai tatanan hukum represif in optima forma. Keseluruhan tatanan hukum di maksudkan untuk menjamin preservasi “rust en orde” dan konservasi kekuasaan colonial demi kepentingan ekonomi Negara dan bangsa Belanda, dan sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat yang terhadapnya tatanan hukum itu diberlakukan. Juga ketika menjalankan politik hukum  secara sadar (berwuste rechtspilitiek) dan menerapkannya dengan menetapkan bahwa bangsa Indonesia dalam bidang hukum perdata berlaku hukum adatnya.[3]
    Persoalan inti bagi politik hukum pemerintah Hindia Belanda ketika menentukan politiknya terhadap hukum adat adalah “wet verwavhten wij Eorupeanen van adatrecht voor regering – soogmerken en onze economische oogmerken ?” Tampak jelas, bahwa pengakuan persamaan derajat dan nilai budaya dengan hukumnya akan diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda hanya sepanjang diperlukan untuk menjamin kepentingan dagang orang Belanda. Pertimbangan “rust en orde” itu pula yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda meanut dan menerapkan unifikasi hukum. Karakter tatanan hukum yang represif ini tampak jelas dalam ketentuan perundang-undangan, pengarutan ketentuan peraturan perundang-undangan pada masa Hindia Belanda meliputi ketentuan aturan hukum masa berikut ini.[4]

1.      Masa Verenidge Oost Indsche Compagnie 1602-1799

        Verenidge Oost Indsche Compagnie (VOC) didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi. Tujuan-nya agar dapat memperoleh keuntungan besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintah belanda kemudian diberi hak-hak istimewa (octrooi) seperti hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang. VOC melakukan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksakan aturan-aturan hukumnya. Ketentuan-ketentuannya merupakan merupakan hukum positif orang Belanda di “daerah perdagangan.” Hukum positif itu berupa ketentuan-ketentuan hukum yang di jalankan di atas kapal-kapal dagang di samping asas-asas hukum Romawi. Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di atas kapal dagang itu sama dengan (konkordan) hukum Belanda Kuno (Oud Nederlandsrecht) yang sebagian besar merupakan “hukum disiplin” (tuchtrecht).[5]
         Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenangnya kepada Gubernur  Jenderal Pieter Both. Wewenangnya adalah membuat peraturan untuk menyelesaikan perkara istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di dareah-daerah yang dikuasai. Di samping itu, ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturan yang dibuat oleh gubernur jendral itu kemudian berdampingan dengan [eraturan yang dibuat tetapkan sendiri oleh Direksi VOC di Belanda dengan nama “Heeren Zeventien”.[6]
         Terhadap aturan-aturan hukum itu pernah dicoba suatu penelitian antara lain dilakukan oleh Freijer dan menghasilkan suatu kitab hukum pada tahun 1760, kitab hukum (kompendium) Freijer itu ternyata hanya berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. Sampai berakhirnya masa VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13 Desember 1799, karena banyak menanggung hutang, tidak ada aturan-aturan hukum lainnya lagi yang berlaku, kecuali yang disebutkan tadi di masa VOC.[7]

1.      Masa pemerintahan Hindia Belanda 1800-1942

         Sejak tanggal 1 Januari 1800 dareah-daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintahan Bataafsce Republiek yang kemudian diubah menjadi Koninklijk Holand. Kepulauan nusantara sejak itu mengalami masa-masa penjajahan pemerintah Belanda dengan melaksanakan pedoman pemerintahan dan aturan-aturan hukumnya negeri Belanda. Untuk mengurus daerah jajahan raja belanda yang monarki absolute waktu itu menunjuk Daendles sebagai Gubernur Jenderal.[8]
         Pada tahun 1811 Daendles diganti oleh Jansens yang tidak lama memerintah, Karena tahun itu juga kepulauan Nusantara dikuasai oleh Inggris. Pemerintahan Inggris mengankat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur. Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan susunan pengadilan. Susunan pengadilan dikonkordansikan susunannya seperti pengadilan India seperti dibawah ini.[9]

1.      Division’s Court
Terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atau Demang dan pegawai bawahannya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggara kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepada Bopati’s court.[10]

2.      District’s Court atau Bopati’s Court
Terdiri dari bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa, dan beberapa pegawai bumiputra di bawah perintah bupati. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada persesuaian pendapat, perkaranya harus diajukan kepada Resident’s court.[11]

3.      Resident’s Court
Terdiri dari Residen, para bupati, Hooft Jaksa Hooft Pengulu. Wewenang-nya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen.[12]

4.      Court of Circuit
Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai peng-adilan keliling dalam menangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut system juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang bumiputra.[13]

           Setelah inggris menyerahkan nusantara kepada belanda pada tahun 1816 sebagai hasil Konvensi London 1814, maka seluruh tata pemerintahannya mulai diatur dengan baik. Sejak saat itu sejarah perundang-undangan membagi 3 masa perundangan yang berjalan sebagai berikut : (a) masa Belsuiten Regerings 1814-1855; (b) masa Regerings Reglement 1855-1926; dan (c) masa Indische Staatsregeling.[14]

2.      Masa balatetntara Jepang

         Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan balatentara jepang berpedoman kepada undang-undangnya yang disebut “Guinseire”. Setiap peraturan yang diperlukan pemerintah di Jawa dan Madura dibuat berpedoman pada Guinseirei melalui “Osamu Seirei”. Osamu seirei mengarur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan; melalui peraturan pelaksana yang disebut “Osamu Kanrei”. Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Osamu Kanrei sebagai peraturan pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Bagi daerah-daerah luar Jawa dan Madura, ada sedikit perbedaan dalam membuat dan melaksanakan peraturan. Yang sejenis dengan Osamu Seirei dinamakan “Tomi Kanrei”, tetapi lebih tepat kalau dikatakan sebagai undang-undang darurat atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal itu karena tidak memerlukan peraturan pelaksana. Selain itu, bagi tiap-tiap daerah secara otonomi dapat membuat dan melaksanakan peraturan daerah yang berlaku hanya untuk kepentingan dan keamanan daerahnya sendiri. Peraturan itu dibuat oleh komandan balatentara Jepang dalam “Tomi Seirei”.[15]
        Dalam bidang hukum, pemerintah balatentara Jepang melalu Osamu Seirei No.1 tahun 1942, dalam pasal 3 menyatakan “Semua badan pemerintahan dan kekuasaan-nya, hukum dan undang-undang dari pemerintahan yang dahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer. Untuk golongan eropa, golongan Timur Asing Cina, dan golongan Indonesia, Timur Asing bukan Cina yang tunduk secara sukarela kepada hukum perdata eropa tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel serta aturan-aturan hukum perdata eropa yang tidak di kodifikasikan. Sementara itu, bagi golongan Indonesia dan golongan Timur Asing bukan Cina yang tidak tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku aturan-aturan hukum adatnya. Wetboek van Strafrech Hindia belanda tetap berlaku, disamping ada peraturan hukum pidana yang tidak dikodifisikan lainnya. Selain itu, peraturan hukum pidana yang di keluarkan oleh pemerintah balatentara Jepang berdasarkan Osamu Gunrei No.1 tahun 1942, Gunseirei Nomor Istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei No.25 Tahun 1944, tentang Guinrei Keizirei memuat aturan-aturan pidana mengenai peraturan umum dan peraturan khusus. Lembaga Peradilan Hindia Belanda juga tetap di gunakan, kecuali Residentiegerecht yang di hapus. Adapun susunan lembaga peradilan berdasarkan Guinseirei No.14 Tahun 1942 Terdiri dari : [16]
a.       Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Pengadilan negeri).
b.      Keizai Hooin, berasal dari Landgerecht (Hakim Kepolisian).
c.       Ken Hooin, berasal dari Regentschapgerecht (Pengadilan Kabupaten)
d.      Gun Hooin, berasal dari Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
e.       Kaikyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi).
f.       Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama).
g.      Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landaren.[17]
     
        Semua peraturan hukum dan proses peradilannya selama masa balatentara Jepang berlaku sampai Indonesia merdeka.[18]

C. Fase Kemerdekaan

        Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan sebagai bangsa merdeka dan lepas dari penjajahan siapapun juga di dunia ini. Sebagai bangsa yang merdeka, untuk melaksanakan kemerdekaannya memerlukan wadah organisasi bangsanya dalam bernegara. Maka pada tanggal 18 Agustus 1945 berlaku sebuah Undang-Undang Dasar supel dan elastic untuk menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat merupakan satu kesatuan bernegara. Sejak saat itu, mulailah dilaksanakan hasil perjuangan kemerdekaan bangsa tersebut dengan tata susunan kenegaraan yang berpedomankan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan sebutan Undag-Undang Dasar 1945.[19]
        Untuk meihat perkembangan tata hukum Indonesia setelah kemerdekaanya dari melunggu penjajahan bangsa lain yang mendasarkan pada ketentuan normatif UUD 1945 sampai sekarang; maka akan didapatkan masa penyelenggaraan pemerintahan Indonesia merdeka sebagai roda dan dinamikanya menerapkan tata hukun Indonesia sebagai kebijakan politik hukum yang akan terbagi menjadi 3 masa pemerintahan Indonesia merdeka, yaitu: (1) masa Orde lama; (2) masa Orde Baru; dan (3) masa Orde Reformasi..[20]

1.      Masa Orde Lama
    
        Masa Pemerintahan Orde Lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno dan Moh.Hatta sebagai Wakil Presiden yang di tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945 satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dipilih secara aklamasi oleh PPKI. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat, subsitem hukum Islam dan subsistem hukum Barat.[21]
         Dalam penerapan kehidupan bernegara pada masa ini megalami sebuah dinami-ka politik yang selama pemerintahan Presiden Soekarno dibawah pemerintahan Orde Lama dalam menjalankan UUD 1945 menemukan pasan surutnya. Dinamika politik itu yang berbentuk pada politik hukum pemerintahan dapat diklasifikasikan pada beberapa periode penerapan masa kebijakan politik hukum pemerintahan yang terbagi menjadi 3 periode, yaitu : (i) periode 1945-1950; (ii) periode 1950-1959; dan (iii) periode 1959-1965.[22]

A.    Periode 1945-1950 :

               Perubahan penting dalam pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan menunjukan hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan dengan UU no. 7 tahun 1947 tentang organisasi dan kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Yang pada dasarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Balatentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.[23]

B.     Periode 1950-1959 :
         
                 Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbetuknya badan Konstituante.
Pada periode ini langkah penting dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah diberlakukanya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, Kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan sipil. Pada UU ini kedudukan hakim setara dengan penuntut umum.[24]

C.     Periode 1959-1965

Perkembangan politik hukum pada masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, oleh Presiden Soekarno yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dari Dekret tersebut antara lain:
1. MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
2. Pemberlakuan Pembentukan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950
3. Pembubaran Konstituante
Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam partumbuhan tata hukum di Indonesia adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan sebagian besar Pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi.[25]

2.      Masa Orde Baru

Setelah kudeta G.30S/PKI berhasil digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Supersemar”, maka dimulailah babak baru dalam kehidupan sejarah bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.[26]
Demi mewujudkan hal tersebut diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai konsekuensi pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah susunan perundang-undangan (Hirarki) sebagai berikut :[27]
1.  Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Perpu
4. Keputusan Presiden
5. Peraturan Pelaksanan Lainya :
    a. Intruksi Menteri,
    b. dan lain-lain.[28]

3.      Masa Orde Reformasi

         Keberhasilan gerkan reformasi ialah karena adanya semangat yang satu dari komponen anak bangsa untut menuntut reformasi politik di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Reformasi politik suatu keniscayaan, ketika bangsa Indonesia berkeinginan untuk melakukan perbaikan sistem kehidupan bernegara. Dengan keberhasilan tingkat reformasi politik, yang di buktikan dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945) sebagai arah kebijakan politik hukum yang diambilnya, dimana selama pemerintahan Orde baru sangat disakralkan itu seperti kitab suci yang tidak boleh di ganggu gugat. Maka politik hukum yang terpenting pada masa Orde Reformasi adalah diambilnya suatu keputusan untuk melakukan perubahan UUD 1945.[29]
         








[1]  Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 27-28.
[2]  R. Abdoel Djamali, S.H., Pengantar Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.  10
[3]  Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm. 29-30
[4] Ibid., hlm. 30
[5] R. Abdoel Djamali, S.H., Op.Cit., hlm. 10-11.
[6]  Ibid., hlm. 11
[7] Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm. 31.
[8]  Ibid.
[9] R. Abdoel Djamali, S.H., Op.Cit., hlm. 13.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]  Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm. 32.
[13]  Ibid.
[14]  Ibid.
[15]  R. Abdoel Djamali, S.H., Op.Cit., hlm. 57-58.
[16]  Ibid., hlm. 58-59
[17]  Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm. 37.
[18]  Ibid.
[19]  R. Abdoel Djamali, S.H., Op.Cit., hlm. 59-60.
[20]  Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm. 38-39.
[21]  Ibid.
[22]  Ibid.
[23] Ibid., hlm. 40.
[24] Ibid., hlm. 41.
[25] Lanang Zussaukah, Sejarah Hukum Indonesia, lanangzussaukah.blogspot.co.id, tanggal akses 25 September 2016
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm. 48-49.

Pengantar Hukum Indonesia (Hubungan PIH dan PHI,Ruang Lingkup, Klasifikasi Hukum)

Nama  : Faris Ikhwan Erianto

NIM    : 201610110311183
Kelas   : I-D
Tugas   : TT 1


Pengantar

A.Hubungan Antara PIH dan PHI
           
    Baik PIH maupun PHI, merupakan mata pelajaran dasar suatu basis – leervak dan merupakan kuliah prasyarat (prerequisite) bagi sebagian besar dari mata kuliah asas-asas hukum. Keduanya merupakan mata kuliah yang mempelajari hukum. Kedua mata kuliah (PIH dan PHI) dipisahkan karena saling membunyai obyek sendiri-sendiri. PHI yang menjadi obyek hukum yang sedang berlaku di Indonesia sekarang ini, jadi obyeknya khusus. Sedangkan PIH yang menjadi objek yang di pelajari aturan hukum pada umumnya, berarti tidak terlepas pada aturan-aturan hukum pada satu tempat dan waktu tertentu. Adapaun hubungan antara PIH dan PHI ialah bahwa PIH menjadi dasar untuk PHI, berarti untuk belajar PHI harus mendalami dahulu PIH.[1]

B. Ruang Lingkup PHI
            
     Tugas pokok dari hukum adalah menciptakan ketertiban, oleh karena ketertiban merupakan syarat terpokok dari pada adanya suatu masyarakat yang teratur, hal mana berlaku bagi masyarakat manusia di dalam segala bentuknya. Di samping ketertiban, maka hukum juga bertujuan untuk mencapai keadilan yang pada hakekatnya berakar pada kondisi yang pada suatu waktu tertentu diinginkan oleh suatu masyarakat yang tertentu. Agar tercapai ketertiban masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan kepastian didalam pergaulan antar manusia di dalam masyarakat. Kepastian (hukum) di sini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Dari pengertian hukum tersebut, sehingga hukum digolong-golongkan kedalam rumpun wilayah ruang lingkupnya berdasarkan jenis lapangan-lapangan hukum yang menjadi kajian Pengantar Hukum Indonesia (PHI).[2] Didalam UUDS 1950 pernah di sebutkan beberapa lapangan hukum yaitu dalam pasal 102 dan Pasal 108. Menurut Pasal 102 UUDS 1950 disebutkan adanya lapangan :
(1)   Hukum perdata.
(2)   Hukum dagang.
(3)   Hukum pidana sipil.
(4)   Hukum acara perdata.
(5)   Hukum acara pidana.
       Sedangkan menurut Pasal 108 UUDS 1950 disebutkan adanya suatu lapangan hukum yaitu “Hukum tata usaha”.[3]

C. Klasifikasi Hukum
      
     Dari pembagian atau penggolongan hukum sebagai obyek pengkajian “Pengantar Hukum Indonesia”, maka selanjutnya hukum dapat dilihat dari jenis klasifikasi hukum yang melingkupi di dalam pemberlakuannya pada lingkungan pergaulan masyarakat sebagai aturan yang memiliki tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan perlindungan, serta keadilan dari kepentingan-kepentingan manusia satu sama lainnya yaitu meliputi : (a) berdasarkan sifatnya; (b) berdasarkan fungsinya; (c) berdasarkan isinya; (d) berdasarkan waktu berlakunya; (e) berdasarkan daya kerjanya; dan (f) berdasarkan wujudnya.[4] Berikut penjelasan dari pembagian tersebut:
(a)    Berdasarkan sifatnya :

1.      Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak.
2.      Hukum yang mengatur (Hukum Pelengkap), yaitu hukum yang dapat di kesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.[5]

(b)    Berdasarkan fungsinya

Terkait dengan fungsi hukum yang merupakan bagian dari peranan hukum sebagai aturan hukum yang memiliki sifat memaksa dan memerintah, sehingga hukum memiliki konsekuensi-konsekuensi sebagai sangsi apabila dilanggarnya. Maka dalam perkembangan selanjutnya, peran dan fungsi hukum telah mengalami pergeseran yang positif, dalam arti peran dan fungsi hukum tidak lagi hanya sebatas menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat semata, melainkan telah meluas yakni untuk mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat dan bangsa (welfare state).[6]

(c)     Berdasarkan isinya :

1.      Hukum Privat (Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.
2.      Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warganegara).[7]

(d)    Berdasarkan waktu berlakunya :

1.      Ius Constitutum (Hukum Positif), yaitu hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu
2.      Ius Constituendum yaitu hukum yang di harapkan berlaku pada waktu yang akan datang
3.      Hukum azasi (Hukum Alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.
Ketiga macam hukum ini merupakan Hukum Duniawi.[8]

(e)    Berdasarkan daya kerjanya

Menurut Daya Kerjanya, hukum dapat digolongkan sebagai berikut:
Hukum yang bersifat mengatur atau fakultatif atau subsidiair atau pelengkap atau dispositif, yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak.
Hukum yang bersifat memaksa atau imperatif (dwingendrecht), yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang berarti kaedah hukumnya bersifat mengikat dan memaksa, tidak memberi wewenang lain, selain apa yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Biasanya hukum yang mengatur kepentingan umum bersifat memaksa, sedangkan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan atau kepentingan khusus bersifat mengatur.[9]

(f)    Berdasarkan wujudnya :

1.      Hukum Obyektif, yaitu hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peeraturan hukum saja yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.
2.      Hukum Subyektif, yaitu hukum yang timbul dati hukum obyektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum subyektif disebut juga HAK.[10]
  





[1]  Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 15-16.
[2]  Ibidi. hlm. 16-17.
[3]  Ibid., hlm. 17
[4]  Ibid., hlm. 19
[5] Mudjiono, SH., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 20
[6] Mokhammad Najih, SH., M.Hum. & Soimin, SH. M.H., Op.Cit., hlm.20
[7] Mudjiono, SH., Op.Cit., hlm. 20
[8] Idid., hlm. 19
[9] Deden Firman, Klasifikasi Hukum, forumkomunikasifhunpas.blogspot.co.id, tanggal akses 24 September 2016
[10] Mudjiono, SH., Op.Cit., hlm. 20