Tuesday, 4 August 2020

BAB V ( Asas-Asas Hukum Islam dalam berbagai Bidang Hukum )

A.    Asas-asas Hukum HTN Islam

1.      Asas Amana

asas ini menandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah amanat allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya melalui baiat.

2.      Asas Keadilan

asas ini mengandung arti bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum allah.

3.      Asas Ketaatan

asas ini mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kebijakan pemerintah wajib ditaati.

4.      Asas Musyawarah dengan Referensi al-Qur’an dan Sunnah

asas ini menghendaki agar hukum-hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah diantara mereka yang berhak.

B.     Asas-asas Hukum Perdata Islam

1.      Asas kebolehan/mubah : kebolehan melakukan transaksi perdataa sepanjang transaksi tersebut tak dilarang AL-Quran

2.      Asas kemaslahatan hidup : setiap transaksi perdata boleh dilakukan asal membawa manfaat bagi masyarakat

3.      Asas kebebasan dan kesukarelaan : setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela

4.      Asas menolak madharat dan mengambil manfaat : harus dihindari hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan hubungan perdata yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat

5.      Asas kebajikan ; setiap hubungan perdat seyogyanya mendatangkan kebaikan antara kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat

6.      Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan derajat : asas hungan perdata yang dilandasi sikap saling hormat menghormati, kasih mengasihi guna mencapai tujuan bersama

7.      Asas adil dan berimbang : transaksi perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan,penindasan dan pengambilan keputusan saat pihak lain sedang kesempitan

8.      Asas mendahulukan kewajiban daripada hak : dalam pelaksanaan hubungan transaksi perdata, para pihak harus mengutamakan penunaian kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut hak

9.      Asas larangan merugikan diri sendiri, orang lain : para pidhak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya

10.  Asas kemampuan berbuat dan bertindak : setiap manusia dapat menjadi subyek dalam hubungan perdata jika mereka telah mukllaf

11.  Asas kebebasan berusaha : setiap orang bebas berusaha untuk menhasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya dan keluarganya

12.  Asas yang beritikad baik harus dilindungi : jika dalam transaksi perdata adad cacad tersembunyi dan mempunyai itikad baik maka kepentingan nya harus dilindungi

13.  Asas resiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja : asas ini mengandung nilai yang tinggi terhadap kerja dan pekerjaan

14.  Asas mengatur dan memberikan petunjuk : ketentuan-ketentuan hukum perdata sifatnya hanya mengatur kecuali hal-hal yang bersifat qath’i

15.  Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi ; hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan para saksi (QS AL Baqarah : 282).

C.    Asas-Asas Hukum Pidana Islam

1.      Asas Legalitas (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebihdahulu) ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu denganmemberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini jugadapat melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan hakim, menjamin keamananindividu dengan adanya informasi yang boleh dan yang dilarang. Dalam Islam asas legalitas bukan berdasarkan akal semata, namun dari ketentuan Allah. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ :15 Allah berfirman, artinya : “..dan Kami tidak akanmengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

2.      Asas Tidak berlaku surut melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturan hukumnya. Sebagai contoh, di zamanPra Islam, seorang anak diizinkan menikahi isteri dari ayahnya. Islam melarang hal ini, tetapi ayat Al-Qur’an secara khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum adanya pernyataan larangan dari Al-Qur’an. QS. Al-Nisa’ :22, menyatakan : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau” .

3.      Asas Tidak sah hukuman karena keraguan memiliki makna bahwa batal hukumnya jika terdapat hukuman yang dijatuhkan terdasar pada adanya keraguan di dalamnya. Nash Al-Hadis mengatur : “ Hindarkanlah hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salahdalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum. Menurut ketentuan ini, putusan menjatuhkan hukuman haruslah dilakukan dengan penuh keyakinan, tanpa adanyakeraguan.

4.      Asas Praduga Tak Bersalah (principle of lawfulness) dimaksudkan bahwa semua perbuatan dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nas hukum,selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk sesuatu perbuatan salah,kecuali telah dibuktikan kesalahannya itu pada suatu kejahatan tanpa keraguan.Jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduh harus dibebaskan.

Rasulullah bersabda : “Hindarkanlah bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamudapat dan jika kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum”.

5.      Asas Persamaan di hadapan hukum mengandung makna bahwa tidak ada perbedaan antara tuan dan budak, antara kaya dan miskin, antara pemimpin dan rakyatnya, dan antara pria dan wanita dalam pandangan hukum pidana Islam. Prinsip/ asas persamaan tidak hanya terdapat dalam ranah teori dan filosofi hukum Islam, melainkan dilaksanakan secara praktis dilaksanakan oleh Rasulullah dan para sahabat, para khalifah, dan penerus beliau. Syari’at memberikan tekanan yang besar pada prinsip equality before the law ini, Rasulullah bersabda : “Wahaimanusia ! Kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. BangsaArab tidak lebih mulia dari pada bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari padahitam, kecuali dalam ketakwaan”.3 Syari’at Islam telah menerapkan asas ini secaralengkap sejak lebih dari empat belas abad yang lalu, sementara dalam hukummodern asas ini baru dikenal pada akhir abad delapan belas dalam bentuknyayang kurang lengkap.

D.    Asas-Asas Hukum Peradilan Islam

1.      Asas Bebas Merdeka

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”

2.      Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

3.      Asas Ketuhanan

Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”

4.      Asas Fleksibelitas

Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.

5.      Asas Non Ekstra Yudisial

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

6.      Asas Legalitas

Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.

Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

Sedangkan  Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama terdiri atas:

1.       Asas Personalitas Ke-islaman

Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.

Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :

                                        a.         Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.

                                        b.          Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.

                                        c.         Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

2.       Asas Ishlah (Upaya perdamaian)

Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.

3.       Asas Terbuka Untuk Umum

Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).

4.       Asas Equality

Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris.

5.       Asas “Aktif” memberi bantuan

Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

6.       Asas Upaya Hukum Banding

Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.

7.       Asas Upaya Hukum Kasasi

Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

8.      Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

9.       Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)

Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

 

E.     Asas-asas Hukum dalam bidang-bidang lainnya

1.      Azas Integrity/Ketulusan artinya : Azas ketulusan (integrity) ini mengandung pengertian bahwa dalammelaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karenaterikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya, yaitu berasal dari Allah swt melalui Rasulullah Muhammad saw, sebagai pembawa risalah Al-Our'an Oleh karena itu, ketulusan seseorangmelaksanakan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan sangat tergantung dari keimanan yangdimiliki untuk mentaati hukum-hukum Allan swt

2.      AzasTa' abbudi/Penghambaan diri, Yaitu melaksanakan pembagian waris secara hukum Islama dalah merupakan bagian dari pelaksnaan perintah (ibadah) kepada Allah swt., yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan diberi ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan juga diberganjaran seperti layaknya mentaati dan tidak mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya.

3.      AzasHukukul Maliyah/Hak-hak Kebendaan, Yaitu: hak-hak kebendaan(hukukul maliyah) adalah hak-hak kebendaan kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris Sedangkan hak dan kewajiban dalamLapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan.

4.       Azas Hukukun Thabi'iyah/Hak-Hak Dasar Hak-hak dasar (hukukunthabi 'iyah), adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia,artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir dan bahkan bayi yang masih dalamkandungan dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dengan syarat-syarat tertentu, atau seseorangyang sudah sakit menghadapi kematian, tetapi ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia,begitu juga suami dan istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya(perkawinan dianggap utuh), maka dipandang cakap untuk mewarisi Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni hubungan kekeluargaan,perkawinan, wala (memerdekakan budak) dan seagama.

5.      AzasBilateral, Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belahpihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.

6.      Azas Individual/PeroranganAzas ini menyatakan bahwa setiap individu (orang perorang) yang termasuk ahli waris berhak mendapat warisan secara individual (perseorangan) atau harta warisan harus dibagi-bagipada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara individu (perorangan) dengan tidak ada pengecualian (wanita, laki-laki, anak-anak, dan bahkan bayi yang masih dalam kandungan ibunyaberhak mendapatkan harta warisan secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing

7.      Azas Keadilan yang Berimbang. Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakatSeorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai dengan kemampuannya.

8.      Azas Kematian, Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul apabila ada yang meninggal seseorang adalah merupakan sebab munculnya kcwarisan Menurut ketentuai hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepadaorang lainyang disebut kewarisan setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain. baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk kedalaikategon kewarisan menurut hukum Islam

9.      Azas MembagiHabis Harta WarisanAzas membagi habis semua harta warisan adalah harta warisan harus dibagi habis sehinggatidak tersisa Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, mengeluarkan hak-hak pewaris seperti mengeluarkan biaya tajhiz, membayarkan hutang dan wasiatnya dan melaksanakan pembagianhingga tuntas Begitu juga apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari masalah yang ditetapkan(aul), atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asai masalah yang ditetapkan(radd), telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan ketentuan.

10.  Azas Perdamaian dalam Membagi Harta Warisan berkaitan denga azas individual (perorangan), yaitu menyatakan bahwa harta warisan harusdibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara individu (perorangan), maka secara individu (perorangan) mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan sesuatu perbutan menurut kehendak pemilik hak tersebut Sedangkan asas perdamaian dalam membagi harta warisanadalah memungkinkan melakukan pembagian harta warisan di luar jalur yang telah ditetapkan Al-Qur'an dan Al-Hadits dan kemungkinan menyalahi ketentuan (kadar) bagian masing-masing ahliwaris yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an.

11.  Azas sosial dan kemanusiaanAzas sosial dan kemanusiaan adalah apabila sedang membagi harta warisan, jangan melupakan kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin yang ada disekeliling. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada merekaperkataan yang baik.


No comments:

Post a Comment