A.
Asas-asas
Hukum HTN Islam
1.
Asas Amana
asas
ini menandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah
adalah amanat allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya
melalui baiat.
2.
Asas Keadilan
asas
ini mengandung arti bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan
membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang
tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum allah.
3.
Asas Ketaatan
asas
ini mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan
sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kebijakan pemerintah
wajib ditaati.
4.
Asas Musyawarah
dengan Referensi al-Qur’an dan Sunnah
asas
ini menghendaki agar hukum-hukum perundang-undangan dan kebijakan politik
ditetapkan melalui musyawarah diantara mereka yang berhak.
B.
Asas-asas Hukum Perdata Islam
1.
Asas
kebolehan/mubah : kebolehan melakukan transaksi perdataa sepanjang transaksi
tersebut tak dilarang AL-Quran
2.
Asas
kemaslahatan hidup : setiap transaksi perdata boleh dilakukan asal membawa
manfaat bagi masyarakat
3.
Asas kebebasan
dan kesukarelaan : setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan
sukarela
4.
Asas menolak
madharat dan mengambil manfaat : harus dihindari hubungan perdata yang
mendatangkan kerugian dan mengembangkan hubungan perdata yang bermanfaat bagi
diri sendiri maupun bagi masyarakat
5.
Asas kebajikan
; setiap hubungan perdat seyogyanya mendatangkan kebaikan antara kedua belah
pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat
6.
Asas
kekeluargaan atau asas kebersamaan derajat : asas hungan perdata yang dilandasi
sikap saling hormat menghormati, kasih mengasihi guna mencapai tujuan bersama
7.
Asas adil dan
berimbang : transaksi perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur
penipuan,penindasan dan pengambilan keputusan saat pihak lain sedang kesempitan
8.
Asas
mendahulukan kewajiban daripada hak : dalam pelaksanaan hubungan transaksi
perdata, para pihak harus mengutamakan penunaian kewajibannya terlebih dahulu
daripada menuntut hak
9.
Asas larangan
merugikan diri sendiri, orang lain : para pidhak yang mengadakan hubungan
perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan
perdatanya
10.
Asas kemampuan
berbuat dan bertindak : setiap manusia dapat menjadi subyek dalam hubungan
perdata jika mereka telah mukllaf
11.
Asas kebebasan
berusaha : setiap orang bebas berusaha untuk menhasilkan sesuatu yang baik bagi
dirinya dan keluarganya
12.
Asas yang
beritikad baik harus dilindungi : jika dalam transaksi perdata adad cacad
tersembunyi dan mempunyai itikad baik maka kepentingan nya harus dilindungi
13.
Asas resiko
dibebankan pada harta, tidak pada pekerja : asas ini mengandung nilai yang
tinggi terhadap kerja dan pekerjaan
14.
Asas mengatur
dan memberikan petunjuk : ketentuan-ketentuan hukum perdata sifatnya hanya
mengatur kecuali hal-hal yang bersifat qath’i
15.
Asas tertulis
atau diucapkan di depan saksi ; hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam
perjanjian tertulis di hadapan para saksi (QS AL Baqarah : 282).
C.
Asas-Asas Hukum Pidana Islam
1.
Asas Legalitas
(tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebihdahulu) ini merupakan
suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu denganmemberi batas aktivitas apa
yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini jugadapat melindungi dari
penyalahgunaan kekuasaan hakim, menjamin keamananindividu dengan adanya
informasi yang boleh dan yang dilarang. Dalam Islam asas legalitas bukan
berdasarkan akal semata, namun dari ketentuan Allah. Dalam Al-Qur’an Surat
Al-Isra’ :15 Allah berfirman, artinya : “..dan Kami tidak akanmengazab sebelum
Kami mengutus seorang rasul.”
2.
Asas Tidak
berlaku surut melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, kepada perbuatan
yang belum ada aturan hukumnya. Sebagai contoh, di zamanPra Islam, seorang anak
diizinkan menikahi isteri dari ayahnya. Islam melarang hal ini, tetapi ayat
Al-Qur’an secara khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang
dilakukan sebelum adanya pernyataan larangan dari Al-Qur’an. QS. Al-Nisa’ :22,
menyatakan : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau” .
3.
Asas Tidak sah
hukuman karena keraguan memiliki makna bahwa batal hukumnya jika terdapat
hukuman yang dijatuhkan terdasar pada adanya keraguan di dalamnya. Nash
Al-Hadis mengatur : “ Hindarkanlah hudud dalam keadaan ragu, lebih baik
salahdalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum. Menurut ketentuan ini,
putusan menjatuhkan hukuman haruslah dilakukan dengan penuh keyakinan, tanpa
adanyakeraguan.
4.
Asas Praduga
Tak Bersalah (principle of lawfulness) dimaksudkan bahwa semua perbuatan
dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nas hukum,selanjutnya
setiap orang dianggap tidak bersalah untuk sesuatu perbuatan salah,kecuali
telah dibuktikan kesalahannya itu pada suatu kejahatan tanpa keraguan.Jika
suatu keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduh harus dibebaskan.
Rasulullah
bersabda : “Hindarkanlah bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamudapat dan
jika kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,lebih
baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum”.
5.
Asas Persamaan
di hadapan hukum mengandung makna bahwa tidak ada perbedaan antara tuan dan
budak, antara kaya dan miskin, antara pemimpin dan rakyatnya, dan antara pria
dan wanita dalam pandangan hukum pidana Islam. Prinsip/ asas persamaan tidak
hanya terdapat dalam ranah teori dan filosofi hukum Islam, melainkan
dilaksanakan secara praktis dilaksanakan oleh Rasulullah dan para sahabat, para
khalifah, dan penerus beliau. Syari’at memberikan tekanan yang besar pada
prinsip equality before the law ini, Rasulullah bersabda : “Wahaimanusia !
Kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. BangsaArab
tidak lebih mulia dari pada bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari
padahitam, kecuali dalam ketakwaan”.3 Syari’at Islam telah menerapkan asas ini
secaralengkap sejak lebih dari empat belas abad yang lalu, sementara dalam
hukummodern asas ini baru dikenal pada akhir abad delapan belas dalam bentuknyayang
kurang lengkap.
D.
Asas-Asas Hukum Peradilan Islam
1.
Asas Bebas
Merdeka
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan
peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD
1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan
“Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya
kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara
lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang
dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
2.
Asas Sebagai
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3.
Asas Ketuhanan
Peradilan
agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama
Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhan Yang Maha Esa.”
4.
Asas
Fleksibelitas
Pemeriksaan
perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun
1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara
dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak
tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan
tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak
penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas
yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Cepat yang
dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam
menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan
tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya
digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya
sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim
harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang
terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan
secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di
luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara
menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan
pengadilan.
5.
Asas Non Ekstra
Yudisial
Segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun
1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud akan dipidana.
6.
Asas Legalitas
Peradilan
agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini
diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada
asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak
membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak
dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas
legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai
hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai
dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang
dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak
boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan
kemauan hukum.
Sedangkan Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
terdiri atas:
1.
Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan
agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas
ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7
tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan
Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas
personalitas ke-islaman adalah :
a.
Para pihak yang
bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.
Perkara perdata yang disengketakan mengenai
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi
syari’ah.
c.
Hubungan hukum
yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
2.
Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan
melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama
untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan,
pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3.
Asas Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk
umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan
penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan
secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun
pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding
tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau
cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3
tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4.
Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama
hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat
“diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi
kategoris.
5.
Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada
proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur
dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama.
6.
Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
Undang-undang menentukan lain.
7.
Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain.
8.
Asas Upaya
Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat
dilakukan peninjauan kembali.
9.
Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
E.
Asas-asas
Hukum dalam bidang-bidang lainnya
1.
Azas Integrity/Ketulusan artinya : Azas
ketulusan (integrity) ini mengandung pengertian bahwa dalammelaksanakan Hukum
Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karenaterikat
dengan aturan yang diyakini kebenarannya, yaitu berasal dari Allah swt melalui
Rasulullah Muhammad saw, sebagai pembawa risalah Al-Our'an Oleh karena itu,
ketulusan seseorangmelaksanakan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan sangat
tergantung dari keimanan yangdimiliki untuk mentaati hukum-hukum Allan swt
2.
AzasTa' abbudi/Penghambaan diri, Yaitu
melaksanakan pembagian waris secara hukum Islama dalah merupakan bagian dari
pelaksnaan perintah (ibadah) kepada Allah swt., yang apabila dilaksanakan
mendapat pahala dan diberi ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan juga
diberganjaran seperti layaknya mentaati dan tidak mentaati pelaksanaan
hukum-hukum Islam lainnya.
3.
AzasHukukul Maliyah/Hak-hak Kebendaan, Yaitu:
hak-hak kebendaan(hukukul maliyah) adalah hak-hak kebendaan kebendaan saja yang
dapat diwariskan kepada ahli waris Sedangkan hak dan kewajiban dalamLapangan
hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti
suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak
dapat diwariskan.
4.
Azas
Hukukun Thabi'iyah/Hak-Hak Dasar Hak-hak dasar (hukukunthabi 'iyah), adalah
hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia,artinya meskipun ahli waris itu
seorang bayi yang baru lahir dan bahkan bayi yang masih dalamkandungan dapat
diperhitungkan sebagai ahli waris dengan syarat-syarat tertentu, atau
seseorangyang sudah sakit menghadapi kematian, tetapi ia masih hidup ketika
pewaris meninggal dunia,begitu juga suami dan istri yang belum bercerai
walaupun sudah pisah tempat tinggalnya(perkawinan dianggap utuh), maka
dipandang cakap untuk mewarisi Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam
penyebab seorang mendapat warisan, yakni hubungan kekeluargaan,perkawinan, wala
(memerdekakan budak) dan seagama.
5.
AzasBilateral, Azas ini mengandung makna bahwa
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belahpihak yaitu dari kerabat
keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
6.
Azas Individual/PeroranganAzas ini menyatakan
bahwa setiap individu (orang perorang) yang termasuk ahli waris berhak mendapat
warisan secara individual (perseorangan) atau harta warisan harus
dibagi-bagipada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara individu
(perorangan) dengan tidak ada pengecualian (wanita, laki-laki, anak-anak, dan
bahkan bayi yang masih dalam kandungan ibunyaberhak mendapatkan harta warisan
secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam
nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya
menurut kadar bagian masing-masing
7.
Azas Keadilan yang Berimbang. Azas ini
mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang
dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya
Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban
yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan
masyarakatSeorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga,
mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai dengan kemampuannya.
8.
Azas Kematian, Makna azas ini adalah bahwa kewarisan
baru muncul apabila ada yang meninggal seseorang adalah merupakan sebab
munculnya kcwarisan Menurut ketentuai hukum kewarisan Islam, peralihan harta
seseorang kepadaorang lainyang disebut kewarisan setelah orang yang mempunyai
harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta
itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih
hidup kepada orang lain. baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian
sesudah kematiannya, tidak termasuk kedalaikategon kewarisan menurut hukum
Islam
9.
Azas MembagiHabis Harta WarisanAzas membagi
habis semua harta warisan adalah harta warisan harus dibagi habis sehinggatidak
tersisa Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara menentukan
siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, mengeluarkan
hak-hak pewaris seperti mengeluarkan biaya tajhiz, membayarkan hutang dan
wasiatnya dan melaksanakan pembagianhingga tuntas Begitu juga apabila terjadi
suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari
masalah yang ditetapkan(aul), atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana
jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asai masalah yang
ditetapkan(radd), telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan
ketentuan.
10. Azas Perdamaian
dalam Membagi Harta Warisan berkaitan denga azas individual (perorangan), yaitu
menyatakan bahwa harta warisan harusdibagi-bagi pada masing masing ahli waris
untuk dimiliki secara individu (perorangan), maka secara individu (perorangan)
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan sesuatu perbutan menurut kehendak
pemilik hak tersebut Sedangkan asas perdamaian dalam membagi harta
warisanadalah memungkinkan melakukan pembagian harta warisan di luar jalur yang
telah ditetapkan Al-Qur'an dan Al-Hadits dan kemungkinan menyalahi ketentuan
(kadar) bagian masing-masing ahliwaris yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an.
11. Azas sosial dan
kemanusiaanAzas sosial dan kemanusiaan adalah apabila sedang membagi harta
warisan, jangan melupakan kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin yang ada
disekeliling. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat,
anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta
itu(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada merekaperkataan yang baik.
No comments:
Post a Comment