A.
Ar-ra’yu Sebagai sumber Hukum Islam
Kata “ar-ra’yu” yang berarti kebebasan pemikiran,
cenderung berkonotasi padarasionalitas ijtihad terhadap penafsiran al-Qur’an.
Al-Qur’an dianggap sebagai teks “fleksibel”yang memberi ruang gerak secara
bebas bagi mufassir untuk menentukan dan memberi penafsiran sesuai dengan
kepentingannya. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yangmembatasi
pengertian Tafsir bi ar-ra’yi terutama dalam aplikasinya. Ijtihad yang
dimaksudadalah berdasarkan dasar-dasar yang benar dan kaidah-kaidah yang lurus.
Jadi, tafsir bi ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata,
atau hanya ekedar gagasan yangterlintas dalam fikiran seseorang.
Secara etimologi kata
(ra’yu) berasal dari
bahasa Arab yang
berarti “melihat”.Menurut Abû
Hasan kata ra’yu
memiliki arti: pengelihatan
dan pandangan dengan
mata atau hati,
segala sesuatu yang
dilihat oleh manusia, jamaknya
(al-Ara’).
Secara terminologi, ra’yu menurut Muhammad
Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui
proses berfikir dan merenung. ra’yu
merupakan “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan
untuk memberikan solusi
terhadap suatu permasalahan
hukum yang belum pernah ada sebelumnya di dalam nas
untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan kaedah yang telah
ditetapkan
B.
Metode Ijtihad
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian
yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot,
yaitu :
1.
Ijtihad Al-Bayani,
yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash
namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi
penunjukannya.
Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian
kebahasaan (semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar
penggalian pengertian makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz,
bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang
umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan
kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.
2.
Ijtihad
Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan
metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini
hukumnya memang tidaktersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk
mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua
orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua,
diqiyaskan kepada hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah
bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan
“ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
3.
Ijtihad Isthislahi,
Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan
untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah
umum (kulliyah), yaitu
mengenaimasalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum
tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah
itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode
istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah
jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan), sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’
.
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna
menciptakan beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau
mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga
tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan
primer),tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada
persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi
tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.
C.
Metode Isbath Hukum
Metode
ialah suatu cara teratur atau cara kerja yang bersistem yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki,
sedangkan istinbath berarti perumusan masalah. Istinbath berasal dari bahasa
Arab yang artinya mengeluarkan atau menetapkan, secara terminologis istinbath
adalah daya usaha yang harus diupayakan untuk merumuskan hukum syara’ berdasarkan
al-Quran dan Sunnah dengan jalan ijtihad[1]. Kemudian hukum dalam metode
istinbath hukum dimaksudkan sebagai hukum syara’ atau hukum Islam, yakni hukum
yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh seorang mukalaf.
Jadi, metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum
Islam (syara’). Sumber hukum Islam pada dasarnya ada dua macam:
1.
Sumber “tekstual” atau
sumber tertulis (disebut juga Nushush) yaitu langsung berdasarkan teks al-Quran
dan Sunnah Nabi.
2.
Sumber “nontekstual”
atau sumber tak tertulis (disebut juga ghairu nushush) seperti istishan dan
qiyas. Meskipun sumber hukum keduanya tidak langsung mengambil dari al-Quran
dan Sunnah, tapi hakikatnya digali dari (berdasarkan atau menyandar) pada
al-Quran dan Sunnah.
Dari mengenai sumber hukum di atas
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya metode pemahaman hukum Islam yang
berangkat melalui pemahaman langsung dari teks disebut lafdziah. Sedangkan
pemahaman tidak langsung dari teks disebut maknawiyah. Jadi, metode Istinbath
hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu metode kebahasaan (thariqatul
lughawiyah) dan maknawi (thariqatul maknawiyah). Berikut rincian dari kedua
metode istibath hukum tersebut:
1. Thariqatul Lughawiyah
Thariqatul
lughawiyah atau metode istinbath hukum secara kebahasaan adalah metode
perumusan kaidah-kaidah ushuliyah berdasarkan kepada dalil-dalil atau nash-nash
yang bersifat tekstual yang dirumuskan dengan pembahasan mengenai asal-usul
bahasa (secara kebahasaan). Namun metode ini tidak melirik atau menghubungkan
hukum-hukum syara yang dikaji dengan masalah-masalah furu’ atau masalah-masalah
yang terjadi di masyarakat.
Berkaitan
dengan metodenya yang lebih membahas unsur kebahasaan terhadap nash-nash dalam
al-Quran dan Sunnah, maka diperlukan kemampuan bahasa Arab yang memadai. Oleh
karenanya, ulama Ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum
Islam harus berdasarkan kaidah bahasa Arab itu.
2. Thariqatul
Maknawiyah
Metode
istinbath hukum dengan cara ini mengacu pada permasalahan-permasalahan
yang terjadi di masyarakat (furu’).Metode ini menetapkan kaidah-kaidah
bagi persoalan-persoalan praktis yang terjadi, caranya dengan merinci
masalah-masalah furu’ (cabang) kemudian baru ditetapkan ketentuan hukum
terhadap permasalahan yang ada pada saat itu dan belum pernah terjadi pada masa
sebelumnya. Karena adanya metode ini, maka ulama-ulama yang ada di setiap zaman
setelahnya dapat merumuskan hukum-hukum yang belum ditetapkan di masa-masa
sebelumnya. Dengan ini maka berkembanglah cakrawala hukum Islam.
Berbeda
dengan Alquran dan hadist yang bersifat terbatas terutama dalam hal yang
mengenai tentang hukum yang telah disebutkan sebelumnya. Sejalan dengan
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, peristiwa-peristiwa
hukum bersifat dinamis dan berkembang terus secara “tidak terbatas” sampai hari
kiamat. Peristiwa-peristiwa baru itu memerlukan adanya ketentuan hukum.
Metode
ini dicetuskan oleh imam Hanafi dan dikembangkan oleh beberapa ulama masyhur,
salah satunya Al-Bazdawi. Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang telah dibuat
berdasarkan metode ini di antaranya kitab Al-Ushul oleh Abil Hasan
al-Karkhi, Ushulil Fiqh karya Abu Bakr Ar-Razi, dan at-Taisiun
karya ad-Dabusi, serta masih banyak lagi.
No comments:
Post a Comment