Tuesday, 4 August 2020

BAB VII ( Sumber-Sumber Hukum Islam)

A.    Ar-ra’yu Sebagai sumber Hukum Islam

Kata “ar-ra’yu” yang berarti kebebasan pemikiran, cenderung berkonotasi padarasionalitas ijtihad terhadap penafsiran al-Qur’an. Al-Qur’an dianggap sebagai teks “fleksibel”yang memberi ruang gerak secara bebas bagi mufassir untuk menentukan dan memberi penafsiran sesuai dengan kepentingannya. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yangmembatasi pengertian Tafsir bi ar-ra’yi terutama dalam aplikasinya. Ijtihad yang dimaksudadalah berdasarkan dasar-dasar yang benar dan kaidah-kaidah yang lurus. Jadi, tafsir bi ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya ekedar gagasan yangterlintas dalam fikiran seseorang.

Secara  etimologi  kata    (ra’yu)  berasal  dari  bahasa  Arab  yang  berarti  “melihat”.Menurut  Abû  Hasan  kata  ra’yu  memiliki  arti:  pengelihatan  dan  pandangan  dengan  mata  atau  hati,  segala  sesuatu  yang  dilihat  oleh manusia, jamaknya (al-Ara’).

Secara terminologi, ra’yu menurut  Muhammad  Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui proses berfikir dan merenung.  ra’yu merupakan “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang  bertujuan  untuk  memberikan  solusi  terhadap  suatu  permasalahan  hukum  yang  belum pernah ada sebelumnya di dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan kaedah yang telah ditetapkan

 

B.     Metode Ijtihad

Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :

1.      Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukannya.

 

Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.

2.      Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas.  Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidaktersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”

 

 

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.

Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)

‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.

 

3.      Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan  kaidah-kaidah  umum (kulliyah), yaitu   mengenaimasalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’

.

Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer),tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.

 

C.    Metode Isbath Hukum

Metode ialah suatu cara teratur atau cara kerja yang bersistem yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, sedangkan istinbath berarti perumusan masalah. Istinbath berasal dari bahasa Arab yang artinya mengeluarkan atau menetapkan, secara terminologis istinbath adalah daya usaha yang harus diupayakan untuk merumuskan hukum syara’ berdasarkan al-Quran dan Sunnah dengan jalan ijtihad[1]. Kemudian hukum dalam metode istinbath hukum dimaksudkan sebagai hukum syara’ atau hukum Islam, yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh seorang mukalaf. Jadi, metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum Islam (syara’). Sumber hukum Islam pada dasarnya ada dua macam:

1.            Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut juga Nushush) yaitu langsung berdasarkan teks al-Quran dan Sunnah Nabi.

2.            Sumber “nontekstual” atau sumber tak tertulis (disebut juga ghairu nushush) seperti istishan dan qiyas. Meskipun sumber hukum keduanya tidak langsung mengambil dari al-Quran dan Sunnah, tapi hakikatnya digali dari (berdasarkan atau menyandar) pada al-Quran dan Sunnah.

            Dari mengenai sumber hukum di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya metode pemahaman hukum Islam yang berangkat melalui pemahaman langsung dari teks disebut lafdziah. Sedangkan pemahaman tidak langsung dari teks disebut maknawiyah. Jadi, metode Istinbath hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu metode kebahasaan (thariqatul lughawiyah) dan maknawi (thariqatul maknawiyah). Berikut rincian dari kedua metode istibath hukum tersebut:

 

1.       Thariqatul Lughawiyah

Thariqatul lughawiyah atau metode istinbath hukum secara kebahasaan adalah metode perumusan kaidah-kaidah ushuliyah berdasarkan kepada dalil-dalil atau nash-nash yang bersifat tekstual yang dirumuskan dengan pembahasan mengenai asal-usul bahasa (secara kebahasaan). Namun metode ini tidak melirik atau menghubungkan hukum-hukum syara yang dikaji dengan masalah-masalah furu’ atau masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Berkaitan dengan metodenya yang lebih membahas unsur kebahasaan terhadap nash-nash dalam al-Quran dan Sunnah, maka diperlukan kemampuan bahasa Arab yang memadai. Oleh karenanya, ulama Ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum Islam harus berdasarkan kaidah bahasa Arab itu.

2.      Thariqatul Maknawiyah

Metode istinbath hukum dengan cara ini mengacu pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat (furu’).Metode ini menetapkan kaidah-kaidah bagi persoalan-persoalan praktis yang terjadi, caranya dengan merinci masalah-masalah furu’ (cabang) kemudian baru ditetapkan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang ada pada saat itu dan belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Karena adanya metode ini, maka ulama-ulama yang ada di setiap zaman setelahnya dapat merumuskan hukum-hukum yang belum ditetapkan di masa-masa sebelumnya. Dengan ini maka berkembanglah cakrawala hukum Islam.

Berbeda dengan Alquran dan hadist yang bersifat terbatas terutama dalam hal yang mengenai tentang hukum yang telah disebutkan sebelumnya. Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, peristiwa-peristiwa hukum bersifat dinamis dan berkembang terus secara “tidak terbatas” sampai hari kiamat. Peristiwa-peristiwa baru itu memerlukan adanya ketentuan hukum.

Metode ini dicetuskan oleh imam Hanafi dan dikembangkan oleh beberapa ulama masyhur, salah satunya Al-Bazdawi. Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang telah dibuat berdasarkan metode ini di antaranya kitab Al-Ushul oleh Abil Hasan al-Karkhi, Ushulil Fiqh karya Abu Bakr Ar-Razi, dan at-Taisiun karya ad-Dabusi, serta masih banyak lagi.


No comments:

Post a Comment