A. Dasar Hukum dan Prinsip Kewarisan
Dasar hukum waris di Indonesia terdiri dari
tiga macam yang didasarkan pada kultur masyarakat, agama, dan ketetapan
pemerintah. Pertama adalah hukum waris adat—berupa norma atau adat di kawasan
tertentu. Biasanya, tidak tertulis dan hanya diberlakukan untuk wilayah khusus.
Secara umum, hukum waris adat menganut empat sistem, yaitu keturunan, kolektif,
mayorat, dan individual.Penetapan sistem tersebut dipengaruhi oleh hubungan
kekerabatan atau pola kehidupan masyarakat setempat.
Kedua,
hukum waris Islam yang diterapkan oleh muslim di Indonesia. Hukum tersebut
tercantum dalam Pasal 171-214 tentang Kompilasi Hukum Indonesia.Di aturan ini,
ada 229 pasal yang menulis seputar pewarisan harta menurut Islam.Intinya, Islam
mengimplementasikan sistem waris individual bilateral—berasal dari pihak ibu
atau ayah.
Ketiga—hukum
waris perdata yang mengacu pada negara barat.Aturan ini berlaku untuk semua
masyarakat Indonesia.Ketetapannya dicantumkan dalam Buku II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP) Pasal 830-1130.
Prinsip kewarisan yaitu:
1.
Prinsip Ijbari
Peralihan
harta benda seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang
masih hidup berlaku dengan sendirinya. Pelaksanaannya atas kehendak Allah bukan
karena kehendak pewaris dan ahli warisnya. Pelaksanaannya juga tidak
memberatkan ahli warisnya.
Andaikata
harta warisan tidak mencukupi untuk menutupi sangkutannya, maka tidak ada
kewajiban ahliwaris untuk menutupi utang-utangnya itu, cukup dibayarkan sebatas
harta benda yang ditinggalkannya. Kalaupun ahli waris akan melunasi
hutang-hutangnya bukanlah karena perintah hukum, tetapi hanya karena atas dasar
etika dan moral mulia dari Ahli Warisnya.
Berbeda
dengan KUHP, peralihan harta dari pewaris bergantung pada kehendak AW yang
bersangkutan. AW dimungkinkan bisa menolak menerima kewarisan dan menolak pula
segala konsekuensinya. Demikian pula terhadap wasiat, hanya diperkenankan
maksimal 1/3 dari seluruh hartanya.
2.
Prinsip
individual
Warisan
dapat dibagi-bagikan kepada ahliwarisnya untuk dimiliki secara perorangan. AW
berhak atas bagian dari warisan tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.
Dasarnya Surat an-Nisa : 7, bahwa setiap ahli waris laki-laki dan perempuan
berhak menerima warisan dari orang tua maupun kerabatnya.
Makna
berhak atas warisan tidak berarti warisan harus dibagi-bagikan apapun
bentuknya, tetapi bisa saja tidak dibagi-bagikan sepanjang itu atas kehendak
bersama para ahliwarisnya, misalnya ahli waris tidak berada di tempat, atau
masih anak-anak.
Tertundanya
pembagian warisan itu tidak menghilangkan hak masing-masing ahli waris sesuai
bagiannya masing-masing. Yang terlarang dalam al-Quran (an-Nisa ayat 2) adalah
mencampurkan harta anak yatim dengan harta yang tidak baik atau menukarnya
dengan harta yang tidak seimbang, dan larangan memakan harta anak yatim bersama
hartanya.
Prinsip
individual ini terdapat perbedaan mendasar dengan sistem kew adat yang mengenal
kewarisan kolektif yang tidak dibagi kepada seluruh AW melainkan dimiliki
bersama, yaitu harta pusaka, tanah ulayat.
3.
Prinsip
Bilateral
Kedudukan
yang sama antara antara AW laki-laki dan perempuan keduanya dapat menerima
warisan baik dari garis kekerabatan laki-laki maupun dari gariskekerabatan
perempuan. Jenis kelamin bukanlah halangan kewarisan dalam waris Islam.
Dasarnya dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176m khusunya pada
ayat 7. Dapat ditegaskan bahwa prinsip bilateral berlaku baik garis ke atas
maupun ke samping.
4.
Prinsip
Kewarisan Hanya Karena Kematian
Peralihan
harta warisan seseorang kepada yang lain dengan sebutan kewarisan, berlaku
setelah yang pemiliknya meninggal dunia. Tidak ada pewarisan sepanjang masih
hidup. Segala bentuk peralihan harta pemilik semasa masih hidup tidak termasuk
dalam hukum kewarisan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Waris
Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan hanyalah melalui kematian. Dalam
KUHP dikenal kewarisan secara ab intestato yang tidak juga mengenal kewarisan
secara wasiat yg dibuat pewaris se masa masih hidup. Hal relevan dengan prinsip
ijbari dimana seseorang dapat bertindak bebas atas harta kekayaannya semasa
masih hidup, tidak lagi setelah meninggal dunia.
Kata
warasa menunjukkan bahwa proses kewarisan berlaku setelah kematian (fi’il
maadhi). Prinsip kematian ini agak berbeda dalam kew adat, kewarisan dapat
dimulai sejak pewaris masih hidup
B.
Sebab Kewarisan
Menurut jumhurul ulama, sebab-sebab seseorang
dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia ada 3 (tiga), yakni kekerabatan/nasab,
pernikahan, dan wala’ (memerdekakan budak).
Di samping ketiga sebab tersebut, para ulama Syafi’iyah dan ulama
Malikiyah juga memberi tambahan satu sebab, yaitu Jihatul maal. Untuk ulasan
lebih rinci akan dipaparkan sebagai berikut.
1.
Kekerabatan/Nasab
Seseorang dapat memperoleh harta warisan atau
menjadi ahli waris salah satunya disebabkan karena adanya hubungan
kekerabatan/nasab dengan si pewaris (muwarrits). Hal ini ditegaskan Allah SWT
melalui firman-Nya dalam QS. Al-Anfal ayat 75.
وَاُوْلُواالْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْﱃٰبِبَعْضٍﰲِكِتٰبِ
اللّٰهِقلى اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ...
Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat), di dalam kitab Allah. Sesungguhnya allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang
yang mewariskan (si pewaris) dengan orang yang mewarisi (ahli waris) yang
disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai
yang paling kuat karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang
yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Ditinjau
dari garis yang menghubungkan nasab antara si pewaris dengan ahli waris,
kekerabatan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yakni:
a.
Ushul, yaitu pertalian lurus ke atas dari si mati, seperti ibu, nenek,
ayah, kakek, dan seterusnya.
b.
Furu’, yaitu pertalian lurus ke bawah, yang merupakan anak turun dari si
mati, seperti anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
c.
Hawasyi, yaitu pertalian menyamping dari si mati, seperti saudara,
paman-bibi, keponakan, danseterusnya tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan.
Selain
berdasarkan nasab, seseorang menerima warisan terjadi dengan jalan fardhu,
ta’shib, yaitu menerima sisa dari yang telah diambil oleh mereka yang berhak
berdasar fardhu, dan jalan lainnya dengan kedua-duanya, yaitu di satu keadaan
dengan jalan fardhu dan di keadaan lain dengan jalan ta’shib. [2] Dan apabila
dihubungkan dengan bagian yang diterima si ahli waris sebagai akibat hubungan
kekerabatan, maka dikelompokkan menjadi empat. Antara lain:
1) Ashabul furud an-nasabiyah, yaitu golongan
kerabat yang mendapat bagian tertentu jumlahnya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,
1/8.
2)
Ashabah nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang tidak memperoleh bagian
tertentu, tetapi mendapat sisa dari ashabul furud, atau mendapat seluruh
peninggalan apabila tidak ada ashabul furud sama sekali. Ashabah nasabiyah ini
kesemuanya terdiri dari laki-laki.
3)
Golongan kerabat yang mendapat dua macam bagian secara bersama-sama,
yaitu furudul muqaddarah dan juga sisa (ashabah), seperti ayah, kakek, dan
seterusnya.
4)
Dzawil arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk ashabul furud
dan ashabah, seperti cucu dari anak perempuan dan lain sebagainya.
2.
Pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah
dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri, sekalipun
belum atau tidak terjadi persetubuhan. Berbeda dengan urusan mahram, yang
berhak mewarisi di sini hanyalah suami atau istri dari orang yang mewariskan
harta atau muwarrits. Sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat
adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan. Meski mertua dan
menantu tinggal serumah, maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa
bila mertuanya meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang
meninggal dunia tidak memberikan warisan kepada adik iparnya, meski mereka
tinggal serumah.
Pernikahan yang sah menurut syariat Islam
merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan
selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah teman
hidup yang saling membantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama.
Oleh sebab itu, Allah SWT memberikan sebagian harta tertentu sebagai imbalan
pengorbanan atas jerih payahnya apabila salah satu dari keduanya meninggal
dunia dengan meninggalkan harta. Pernikahan yang menyebabkan seorang suami atau
istri dapat mewarisi memerlukan dua syarat, yaitu:
a)
Akad nikah tersebut sah menurut syariat Islam, baik keduanya telah
berkumpul ataupun belum. Ketentuan ini didasarkan pada:
Keumuman ayat-ayat mawaris
Tindakan Rasulullah SAW terhadap kewarisan Barwa’ binti Wasyiq yang
suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpuli dan menetapkan maharnya.
Dimana dalam hal ini Rasulullah SAW menunjukkan bahwa sah atau tidaknya suatu
perkawinan tidak bergantung pada sudah berkumpulnya suami-istri atau telah
terlunasinya pembayaran mahar, melainkan bergantung pada terpenuhinya syarat dan
rukun perkawinan. Adapun pernikahan yang tidak sah (batil atau rusak), tidak
menyebabkan seorang suami atau istri
mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka
pernikahan tersebut dikatakan batil dan menyebabkan tidak saling mewarisi
antara suami dan istri.
b)
Ikatan pernikahan antara suami-istri tersebut masih utuh atau dianggap
masih utuh
Suatu
perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan tersebut telah diputuskan
dengan talak raj’i dan pihak istri masih dalam masa iddah. Pada masa iddah
tersebut suami masih mempunyai hak penuh untuk merujuknya kembali, baik dengan
perkataan maupun perbuatan tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar mahar,
menghadirkan dua orang saksi ataupun seorang wali. Dengan demikian, hak
suami-istri untuk saling mewarisi terpenuhi.
Apabila suami meninggal dunia dengan
meninggalkan istri yang masih dalam masa iddah talak raj’i, maka istri tersebut
masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Begitu pula sebaliknya. Akan
tetapi, apabila masa iddah istri tersebut telah habis, menurut ijma’ keduanya
tidak dapat saling mewarisi harta peninggalannya. Dan bila seorang suami dalam
keadaan sakit berat menalak istrinya kemudian ia meninggal saat istrinya masih
dalam masa iddah, maka istri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Namun
bila istrinya meninggal dunia, maka suami tidak berhak mewarisi harta istrinya.
Pendapat ini dianut oleh Imam Syuraih, As-sa’by, Abu Hanifah, Malik, dan
Syafi’i, yang bersumber dari Umar r.a. dan Utsman r.a. [4]
3.
Wala’
Wala’
adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba.
Wala’ disebut juga dengan istilah wala’ul itqi dan/atau wala’un nikmah.
Dikatakan wala’ul itqi, apabila seseorang membebaskan hamba sahaya dengan
seluruh barang-barang yang dimiliknya, sehingga menimbulkan suatu ikatan antara
hamba sahaya dengan orang yang membebaskannya.
Berdasarkan syariat Islam, wala’ digunakan
untuk memberi pengertian:
a)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan seorang hamba
sahaya
Wala’ dalam arti ini disebut juga wala’ul
ataqah. Wala’ jenis ini merupakan kekerabatan karena sebab hukum (ushubah sababiyah),
dan bukan karena adanya pertalian darah. Apabila seseorang telah membebaskan
atau memerdekakan hambanya, berarti ia telah merubah status hukum orang yang
semula tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak, termasuk memiliki dan
mengelola dan mengadakan transaksi-transaksi terhadap harta bendanya sendiri,
termasuk mampu melakukan tindakan hukum lainnya. Hal ini dianggap sebagai
imbalan atas kenikmatan yang telah dihadiahkan kepada hambanya, dan sebagai
jasa orang yang telah memerdekakan hamba tersebut. sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda:
اِنَّمَاالْوَلَاءُلِمَنِ اعْتَقَ (متفق عليه)
Artinya: “Sesungguhnya hak wala’ itu bagi oramg
yang memerdekakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menganggap wala’ sebagai kerabat
berdasarkan nasab, sebagaimana dalam sabdanya:
الْوَلَاءُلُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ
لَايُبَاعُ وَلَايُوْهَبُ (رواه الحاكم)
Artinya: “Wala’ itu ialah suatu kerabat sebagai
kerabat nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” (HR. Hakim)
Berdasarkan hadits tersebut, bagian yang
diterima oleh wala’ adalah sebagaimana kedudukan barunya dalam nasab, apakah
dianggap sebagai saudara ataukah sebagai anak, dan sebagainya. Dari hadits ini
pula dapat diketahui bahwa orang yang mempunyai hak wala’ (orang yang membebaskan hamba) dapat mewarisi harta
peninggalan hamba sahaya yang dimerdekakannya apabila tidak terdapat ahli
waris, dzawil arham maupun tidak memiliki suami/istri. Namun apabila orang yang
membebaskan tersebut meninggal dunia, maka si hamba yang telah dibebaskan
tidaklah mewarisi harta bendanya. Golongan Ibadiliyah, yaitu segolongan
Khawarij pengikut Abdullah Ibnu Ibaadl tidak membenarkan sebab ini untuk
menerima harta warisan.
b)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian
tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan orang lainnya
Wala’
dalam arti ini disebut juga dengan wala’ul muwalah. Misalnya seorang yang
berjanji kepada orang lain, “Wahai saudara, engkau adalah tuanku yang dapat
mewarisi aku bila aku telah meninggal, dan dapat mengambil diyat untukku bila
aku dilukai seseorang”. Kemudian orang lain yang diajak berjanji menerimanya.
Dalam kasus ini pihak pertama disebut Al-Mawali atau Al-Adna, dan pihak kedua
disebut Al-Mawala atau Al-Maulana. Namun seiring dengan sudah tidak berlaku
lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia di zaman sekarang ini, sebab
mewarisi ini nyaris tidak lagi terjadi.
Adapun perjanjian saling setia dan
tolong-menolong ini, oleh jumhur ulama dalam Kitab Undang-undang Warisan Mesir
telah dinasakhkan dan tidak dipandang sebagai sebab untuk memperoleh harta
warisan. Hanya ulama Hanafiyah saja yang masih berpendapat bahwa ketentuan ini
tidak dinasakh, akan tetapi penerimaan pusaka atau pewarisan mereka harus
diakhirkan setelah dzawil arham.
Terkait contoh pada wala’ul muwalah
di atas, dalam pemaparannya belum diketahui bagaimana ketentuan yang harus
dilakukan dalam penerapannya karena terbatasnya informasinya yang membahas
kasus ini. Apakah harus dengan menggunakan saksi sebagaimana halnya wasiat
ataukah tidak. Namun apabila kita pahami sendiri lebih lanjut, maka hal
tersebut tergantung pada situasi dan kondisi pada masanya. Barangkali memang
yang terjadi pada masa dulu wala’ dapat dilakukan tanpa adanya saksi, karena
pada masa itu kejujuran sangatlah dijunjung tinggi. Namun untuk masa kini,
sepertinya memang hal itu tidak mungkin dilakukan lagi. Hal ini juga didukung
karena sistem perbudakan di tengah peradaban manusia di zaman sekarang ini
tidak berlaku lagi, sebagaimana disebutkan di atas.
4. Jihatul Islam (Baitul Maal)
Setelah
kita membahas tiga sebab penerimaan harta warisan di atas, ada pula pertanyaan,
“Bagaimana apabila si muwarrits tidak memiliki ahli waris?” atau “Bagaimana
apabila harta warisannya tidak habis dibagi?”.
Dalam
hal ini golongan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ke-Islaman juga
menjadi sebab dalam pewarisan harta. Ini berarti apabila seseorang telah
meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris, atau ia mempunyai ahli waris
tetapi harta peninggalannya tidak habis dibagikan, maka peninggalan tersebut
harus diserahkan kepada Kas Perbendaharaan Negara. Sehingga penyetoran ini
bukan berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan sosial, melainkan atas dasar
secara ushubah.
Para
ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini menjadikan sabda Rasulullah SAW
sebagai dasarnya.
اَنَاوَارِثُ مَنْ لَاوَارِثَ لَهُ اَعْقِلُ
عَنْهُ وَارِثُهُ (رواه ابوداود)
Artinya: “Saya adalah ahli waris bagi orang
yang tidak mempunyai ahli waris. Saya membayar dendanya dan mewarisi
daripadanya.” (HR. Abu Dawud)
Dalam
hadits tersebut dijalaskan bahwa meskipun Rasulullah SAW menjadi ahli waris
bagi orang-orang yang tidak memiliki ahli waris, akan tetapi beliau tidak
mewarisi untuk dirinya sendiri, melainkan membaginya untuk kepentingan umat
Islam pada umumnya. Begitu pula orang-orang Islam lainnya, mereka juga dibebani
kewajiban membayar diyat untuk saudaranya sesama Muslim yang tidak memiliki
kerabat, sehingga kedudukan mereka sagaikan ashabah dalam lingkungan kerabat.
Atas dasar tersebutlah para penguasa (pemerintah) dapat memerintahkan agar
harta benda tersebut diserahkan ke baitul maal atau disimpan di tempat lain
yang dipandang aman sebelum dibagikan sebagai dana sosial untuk kepentingan
umat Islam.
Hal ini juga tertuang dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sebagaimana yang tertulis dalam BAB II, pasal 174, yang
isinya kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan terdiri dari dua
orang yaitu sebab sebab hubungan darah dan hubungan perkawinan. Jika tidak
mempunyai ahli waris, sesuai dengan KHI BAB III, pasal 191, maka harta benda
tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul
Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.
C.
Rukun, Syarat
dan Penghalang Kewarisan
Tiga rukun warisan yang perlu dipenuhi, yaitu:
- Orang yang
mewariskan hartanya (Pewaris),
- orang yang
mewarisi hartanya (Ahli Waris), dan
- harta
warisan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah meninggal dunia.
Dalam hukum waris Islam terdapat empat syarat
utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan pembagian warisan, di antaranya
adalah sebagai berikut.
- Orang yang
mewariskan harta peninggalan benar telah meninggal dunia atau telah
ditetapkan oleh hukum bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia jika
telah lama hilang atau tidak diketahui keberadaannya.
- Ahli waris
masih hidup.
- Ahli waris
memiliki hubungan dengan pewaris karena hubungan pernikahan, kekerabatan,
dan memerdekakan budak.
- Ahli waris
yang ditetapkan oleh hakim berhak menerima warisan.
Penghalang kewarisan diantaranya:
1.
Rencana
Pembunuhan
HR
Ahmad : Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tdk dapat mewarisinya,
walaupun si korban tidak memiliki AW selain dirinya, dan walaupun korban itu
bapaknya maupun anaknya. Maka bagi pembunuh tidak berhak mewarisinya. Lain
halnya kaum khawarij bukanlah halangan kewarisan.
Kaidah
fikih : Barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka ia diberi sanksi tidak boleh mendapatkannya. Pembunuhan tanpa
kesengajaan, ulama berbeda pandangan, Imam Syafii menegaskan segala jenis
pembunuhan penghalang kewarisan karena keumuman hadis itu.
Imam
Hanafi : pembunuhan langsung atau sengaja penghalang kewarisan sedangkan
pembunuhan tidak langsung atau tanpa kesengajaan tidak menghalangi kewarisan.
2.
Berlainan agama
Hadis
: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak
dapat mewarisi harta orang Islam (muttafaq alaih). Perbedaan mazhab bukanlah
menjadi halangan kewarisan.
3.
Perbudakan
Hamba
tidak memiliki kecakapan bertindak, karenanya ia pun bagian harta kekayaan yang
dapat diwariskan.
Surat
an-Nahl ayat 75 : Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun…Saat perbudakan tidak aktual lagi
dibicarakan karena zaman telah berubah.
4.
Berlainan negara :
Faktor ini meskipun para ulama fikih terdahulu
sepakat sebagai penghalang kewarisan relevan ketika itu krn sering terjadi
peperangan antar suku/wilayah, dan jauhnya jarak tempuh dengan alat sederhana.
Saat ini perlu reinterpretasi ulang karena halangan-halangan yang disebutkan
itu tidak aktual lagi saat ini, hubungan antgar negara baik, teknolgi sudah
canggih, islam juga universal.
D.
TAHAPAN
PEMBAGIAN HUKUM WARIS
Tahap pembagian ahli waris, yaitu:
- Menentukan
ahli waris yang masih hidup dan berhak mendapatkan warisan.
- Menentukan
bagian masing-masing ahli waris antara ashab Al-furuiid (ahli waris yang
menerima bagian berdasarkan ketentuan dalam Al-Quran) dan Ashabah (Ahli
waris yang mendapatkan sisa setelah semua warisan dibagikan berdasarkan
pembagiannya).
- Menentukan
asal masalah (kelipatan persekutuan terkecil/KPT), contohnya 1/2
asal masalahnya 2, 1/3 asal masalahnya 3.
- Menentukan
siham (Nilai yang dihasilkan dari perkalian KPK dan bagian pasti ahli
waris dari golongan ashab Al-furuiid) masing-masing ahli waris.
E.
BESARNYA BAGIAN
AHLI WARIS
Berdasarkan
prinsip pewarisan dari KUHP, seorang ahli waris harus memiliki hubungan darah
dengan pewaris.Supaya lebih jelas, simak empat golongan ahli waris menurut KUHP
berikut ini.
1. Golongan
I—Keluarga Kandung atau Istri/Suami yang Hidup Paling Lama dengan Pewaris
Penerima waris
yang menempati golongan I adalah anak-anak dan pasangan sah dari pewaris.Dalam
kasus ini, harta yang diberikan bersifat mutlak atau tidak bisa
dipindahtangankan ke pihak kedua selama ahli waris masih hidup.
Berbicara soal
anak—sebagai ahli waris—ketentuannya sudah tertulis dalam Pasal 852 KUHP.
Berikut bunyi pasalnya :
“Anak-anak atau
keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan,
mewarisiharta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau
keluarga-keluargasedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa
membedakan jenis kelamin ataukelahiran yang lebih dulu.”
“Mereka
mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan
yangmeninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan
masing-masing berhakkarena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi
pancang, bila mereka semua atassebagian mewarisi sebagai pengganti.”
Pasal tersebut
menyatakan, bahwa anak—yang memiliki hubungan darah dengan orang tuanya—berhak
menerima waris.Dalam kasus ini, termasuk anak-anak hasil hubungan di luar nikah
atau korban perceraian.Hal pewarisan tersebut juga diatur secara jelas oleh
Pasal 862-866 KUHP.
Disebutkan
dalam pasal 862-866; ahli waris dari golongan anak-anak hasil hubungan di luar
perkawinan sah berhak mendapatkan :
a.
1/3 apabila pewaris memiliki anak atau istri
sah;
b.
1/2 apabila pewaris meninggalkan keluarga
sedarah, tetapi tidak memiliki keturunan sah;
c.
3/4 apabila ahli waris sah tersebut memiliki
hubungan kekerabatan dengan derajat yang lebih jauh dan;
d.
seluruh harta waris apabila pewaris tidak
meninggalkan keturunan sah atau keluarga sedarah.
Ketentuan keempat bisa berubah jika ahli
waris atau anak-anak hasil hubungan di luar pernikahan meninggal dunia.Maka
seluruh harta waris jatuh ke tangan keturunannya yang sah.
2. Golongan II
Anggota keluarga yang termasuk ahli waris
golongan II, yaitu bapak, ibu, atau saudara kandung dari pewaris.Ahli waris ini
bisa mendapatkan bagian jika golongan I tidak ada.
Ketentuan mengenai ahli waris golongan II
diatur dalam Pasal 854-856 KUHP; yang berbunyi :Pasal 854 “Bila seseorang
meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, maka
bapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian
dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang
saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian.Bapak
dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, bila yang mati
meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu
mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian.”
Pasal 855
“Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan
keturunan dan suami atau isteri, dan bapak atau ibunya telah meninggal lebih
dahulu daripada dia, maka bapaknya atau ibunya yang hidup terlama mendapat
separuh dan harta peninggalannya, bila yang mati itu meninggalkan saudara
laki-laki atau perempuan hanya satu orang saja; sepertiga, bila saudara
laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan dua orang; seperempat bagian, bila
saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan lebih dan dua. Sisanya
menjadi bagian saudara laki-laki dan perempuan tersebut.”
Pasal 856
“Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan
seorang keturunan ataupun suami dan isteri, sedangkan bapak dan ibunya telah
meninggal lebih dahulu, maka saudara laki-laki dan perempuan mewarisi seluruh
warisannya. “
3. Golongan III
Golongan ketiga terdiri dari kakek dan nenek
dari keluarga bapak atau ibu kandung pewaris.Mereka berhak memperoleh harta
waris ketika golongan II mengesampingkan atau tidak ada.
Aturan pembagian waris golongan ketiga
tertulis dalam KUHP Pasal 853-858.Di situ disebutkan, bahwa ahli waris harus
memiliki hubungan darah dengan ibu atau bapak kandung ke atas. Jika
kekerabatannya punya derajat kedekatan yang sama, harta waris dibagi sama rata.
Sebaliknya, kalau ada kerabat yang derajat
hubungannya lebih dekat; pewaris harus mengutamakan ahli waris ini.Pada pasal-pasal
selanjutnya, disebutkan mengenai hak kakek atau nenek pewaris mengenai
warisan.Salah satunya adalah Pasal 854 yang berbunyi :
“Bila
seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri,
makabapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga
bagian dan hartapeninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu
orang saudara laki-laki atauperempuan yang mendapat sisa yang sepertiga
bagian.Bapak dan ibunya masing-masingmewarisi seperempat bagian, bila yang mati
meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atauperempuan, dan dalam hal itu
mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang duaperempat bagian.”
4. Golongan IV
Ahli waris golongan IV menerima warisan jika
golongan III tidak ada atau mengabaikan.Golongan ini terdiri dari keluarga
kandung dari orang tua pewaris, semisal paman dan bibi.Adapun mengenai
pembagiannya diatur dalam Pasal 858, 861, dan 873 KUHP.
Berikut ini bunyi ketentuan dalam Pasal 858
yang mengacu pada Pasal 853 KUHP : “Bila tidak ada saudara laki-laki dan
perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu
garis ke atas, maka separuh harta peninggalan itu menjadi bagian dan keluarga
sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi
bagian keluarga sedarah dalam garis ke samping dan garis ke atas lainnya,
kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut: Bila tidak ada saudara
laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih hidup dalam kedua garis
ke atas, maka keluarga sedarah terdekat dalam tiap-tiap garis ke samping
masingmasing mendapat warisan separuhnya. Bila dalam satu garis ke samping
terdapat beberapa keluarga sedarah dalam derajat yang sama, maka mereka berbagi
antara mereka kepala demi kepala tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 845.”
F.
CONTOH
PEMBAGIAN WARIS
Bagian dari harta Amir dan istrinya dikeluarkan
terlebih dahulu, yaitu sebanyak setengahnya. Sedangkan, setengah bagiannya lagi
(dianggap = 1) dibagikan:
- Ayah dan
ibu masing-masing mendapatkan bagian, atau bagian atau bagian.
- Istri
mendapatkan bagian, atau , atau bagian.
- Sisanya,
yaitu : – ( + + ) = - = bagian
dibagikan kepada Ahmad, Anita, dan Annissa dengan perbandingan= 2:1:1
Bagian Ahmad = x
=
Bagian
Anita = x =
Bagian Annisa = x
=
- Bagian :
Ayah + Ibu + Istri + Ahmad + Anita + Annissa
= +
+ + + + = = 1
G.
PERMASALAHAN
AUL
Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah
bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini
disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah
melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum
menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus
menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi
berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya
mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila
pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang
semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula
halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala
pembaginya naik atau bertambah.
Ibu Reni dan Bapak Aldi menikah pada tahun
2007. Ibu Reni yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah SMA dan Bapak
Aldi yang berprofesi sebagai anggota POLRI di Polres. Selama menikah keduanya
tidak dikaruniai seorang anak pun. Pada tahun 2012 bu Reni menderita sakit
kanker kandungan sehingga ia pun meninggal pada tahun 2013
Bu Reni meninggalkan beberapa harta mulai dari
tanah, tabungan, dan warisan dari almarhumah bapaknya yang jika dikalkulasikan
sebesar Rp. 900.000.000,- . Ibu Reni meninggalkan seorang suami, dua orang sdri
kandung yang bernama Rini dan Luna, dan seorang ibu yang sudah tua.
Bagaimanakah pembagian harta waris masing-masing sesuai hukum kewarisan Islam
yang memiliki keadilan secara prosedural dan secara substansial.
1.
Kedudukan dan posisi ahli waris
a.
Ashabul furudh
· Dzawil furudh
nasabiyah:
1.
Dua sdri kandung (bagian 2/3 tanpa anak)
Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 176.
Artinya: Jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Berdasarkan dalil Aqli disini jelas bahwa jika
si mati tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung,
bagian dua orang sdr perempuannya adalah 2/3 yang ketika dibagi masing-masing
mendapat 1/3. Karena pada dasarnya saudara sekandung adalah ahli waris
pengganti disaat pengganti utama tidak ada.
1.
Ibu (bagian 1/3 karena pewaris tidak punya
anak)
Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 11.
Artinya: jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
Berdasarkan dalil aqli tampak bahwa jumlah
warisan yang diterima ibu lebih besar karena pewaris tidak mempunyai anak. Anak
disini adalah ahli waris utama yang telah tergantikan oleh Ibu
· Dzawil furudh
sababiyah:
1.
Suami (bagian ½ pewaris
tidak mempunyai anak)
Dalil naqli QS. An-Nisa’
ayat 12
Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Berdasarkan dalil aqli suami mendapatkan bagian
waris sebesar ½ karena pewaris tak mempunyai anak. Dimana suami memiliki
hubungan terdekat dengan si mati melalui sebab perkawinan.
- Penyelesaian
kasus Melalui Aul
Ahli Waris |
Fard |
Asal Masalah: 6 Sahamnya |
Penerimaan (di-Aul-kan) Penyebut jadi 9 (3+2+4) |
Suami |
½ |
½ x 6 = 3 |
3/9x Rp. 900.000.000,-= Rp. 300.000.000,- |
Ibu |
1/3 |
1/3x 6 = 2 |
2/9 x Rp 900.000.000,-= Rp. 200.000.000,- |
2 sdri kandung |
2/3 |
2/3 x 6 = 4 |
4/9xRp. 900.000.000,-= Rp. 400.000.000,- |
Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian
pembagian waris menggunakan asal masalah yang pertama maka harta akan mengalami
kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena bagian ahli waris total sebanyak
Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar Rp. 900.000.000,-. Akan
tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli
waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni suami mendapatkan Rp.
300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-, dan dua saudari kandung mendapatkan
Rp. 400.000.000,-
Secara istilah menurut Ulama Faradiyun aul
adalah bertambahnya jumlah bagian dzawil furudh atau berkurangnya kadar
penerimaan warisan mereka. Sehingga jelas bahwa hal ini dapat terjadi apabila
terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan sehingga menghabiskan
harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat bagian.
Secara keadilan prosedural telah memenuhi
syarat karena diselesaikan dengan prosedur hukum yang berlaku dan secara
keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-masing ahli waris
mendapat bagian yang semestinya.
H.
PERMASALAHAN
RAD
Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah
bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan
sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai
nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak
ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris. Maka dalam
keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun
akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.
Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan,
kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
- Adanya
ashhabul furudh
- Tidak
adanya ashabah
- Adanya
sisa harta waris
Pak Romi adalah seorang pemborong sawah. Ia
mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan. Istri pak Romi meninggal
sebulan yang lalu karena terkena serangan jantung. Sehingga Pak Romi kehilangan
istri yang dicintainya.
Akhir-akhir ini kesehatan pak Romi mengalami
penurunan akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Rokok yang merupakan
sesuatu yang digandrungi pak Romi telah merenggut nyawanya tahun ini. Pak Romi
meninggalkan, seorang anak perempuan, dan empat orang cucu perempuan dari anak
perempuan.
Pak Romi tergolong Jutawan yang sukses karena
ketika dikalkulasikan hartanya sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Bagaimanakah
pembagian harta waris yang sesuai dengan perspektif konsep hukum waris Islam
yang berkeadilan prosedural dan berkeadilan substansial.
1.
Kedudukan dan Posisi Ahli Waris
a.
Ashabul Furudh
·
Dzawil Furudh Nasabiyah
1.
Seorang anak perempuan (bagian 1/2 harta waris)
Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 11.
Artinya: jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta.
Berdasarkan dalil aqli jika seorang suami istri
hanya memiliki seorang anak perempuan secara otomatis harta tersebut akan jatuh
di tangan anak perempuan tersebut. Akan tetapi islam memberikan bagian bagi
anak perempuan tunggal sebesar ½ bagian.
1.
Empat orang cucu perempuan (bagian 1/6 harta
waris)
Berdasarkan dalil aqli jelas bahwa cucu perempuan
berhak mendapatkan 1/6 bagian harta waris karena mereka termasuk dzawil furudh
nasabiyah.
1.
Diagram Pohon Ahli Waris
Ket:
: Istri
(mati)
: Menantu laki-laki
: Suami
(mati)
: Cucu Perempuan (4 orang: 1/6 bagian
: Anak Perempun (1/2
bagian)
1.
Penyelesaian kasus Melalui Radd
Ahli Waris |
Fard |
Asal Masalah: 6, sahamnya |
Penerimaannya (di-Radd-kan) Penyebut jadi 4 (3+1) |
Anak Pr |
½ |
½ x 6 = 3 |
¾ x Rp. 6.000.000.000,- =
Rp.4.500.000.000,- |
Cucu pr dari anak pr |
1/6 |
1/6 x 6 = 1 |
¼ x Rp. 6.000.000.000,- = Rp.
1.500.000.000,- |
Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian
pembagian waris menggunakan asal masalah yang pertama maka harta akan mengalami
kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena bagian ahli waris total sebanyak
Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Akan
tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli
waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan
mendapatkan Rp. 4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp.
1.500.000.000,-
Secara definitif yang dimaksud dengan radd
menurut ulama faradiyun adalah pengembalian bagian yang tersisa dari bagian
zawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar-kecilnya bagian
masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.
Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat
karena diselesaikan dengan prosedur hukum yang berlaku dan secara keadilan
substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-masing ahli waris mendapat
bagian yang semestinya.
No comments:
Post a Comment