Tuesday, 4 August 2020

BAB XII ( Materi KHI Hukum Kewarisan )

A.    Dasar Hukum dan Prinsip Kewarisan

Dasar hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam yang didasarkan pada kultur masyarakat, agama, dan ketetapan pemerintah. Pertama adalah hukum waris adat—berupa norma atau adat di kawasan tertentu. Biasanya, tidak tertulis dan hanya diberlakukan untuk wilayah khusus. Secara umum, hukum waris adat menganut empat sistem, yaitu keturunan, kolektif, mayorat, dan individual.Penetapan sistem tersebut dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan atau pola kehidupan masyarakat setempat.

            Kedua, hukum waris Islam yang diterapkan oleh muslim di Indonesia. Hukum tersebut tercantum dalam Pasal 171-214 tentang Kompilasi Hukum Indonesia.Di aturan ini, ada 229 pasal yang menulis seputar pewarisan harta menurut Islam.Intinya, Islam mengimplementasikan sistem waris individual bilateral—berasal dari pihak ibu atau ayah.

            Ketiga—hukum waris perdata yang mengacu pada negara barat.Aturan ini berlaku untuk semua masyarakat Indonesia.Ketetapannya dicantumkan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 830-1130.

 

Prinsip kewarisan yaitu:

1.            Prinsip Ijbari

          Peralihan harta benda seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya. Pelaksanaannya atas kehendak Allah bukan karena kehendak pewaris dan ahli warisnya. Pelaksanaannya juga tidak memberatkan ahli warisnya.

          Andaikata harta warisan tidak mencukupi untuk menutupi sangkutannya, maka tidak ada kewajiban ahliwaris untuk menutupi utang-utangnya itu, cukup dibayarkan sebatas harta benda yang ditinggalkannya. Kalaupun ahli waris akan melunasi hutang-hutangnya bukanlah karena perintah hukum, tetapi hanya karena atas dasar etika dan moral mulia dari Ahli Warisnya.

          Berbeda dengan KUHP, peralihan harta dari pewaris bergantung pada kehendak AW yang bersangkutan. AW dimungkinkan bisa menolak menerima kewarisan dan menolak pula segala konsekuensinya. Demikian pula terhadap wasiat, hanya diperkenankan maksimal 1/3 dari seluruh hartanya.

 

2.             Prinsip individual

          Warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahliwarisnya untuk dimiliki secara perorangan. AW berhak atas bagian dari warisan tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Dasarnya Surat an-Nisa : 7, bahwa setiap ahli waris laki-laki dan perempuan berhak menerima warisan dari orang tua maupun kerabatnya.

          Makna berhak atas warisan tidak berarti warisan harus dibagi-bagikan apapun bentuknya, tetapi bisa saja tidak dibagi-bagikan sepanjang itu atas kehendak bersama para ahliwarisnya, misalnya ahli waris tidak berada di tempat, atau masih anak-anak.

          Tertundanya pembagian warisan itu tidak menghilangkan hak masing-masing ahli waris sesuai bagiannya masing-masing. Yang terlarang dalam al-Quran (an-Nisa ayat 2) adalah mencampurkan harta anak yatim dengan harta yang tidak baik atau menukarnya dengan harta yang tidak seimbang, dan larangan memakan harta anak yatim bersama hartanya.

          Prinsip individual ini terdapat perbedaan mendasar dengan sistem kew adat yang mengenal kewarisan kolektif yang tidak dibagi kepada seluruh AW melainkan dimiliki bersama, yaitu harta pusaka, tanah ulayat.

 

3.             Prinsip Bilateral

          Kedudukan yang sama antara antara AW laki-laki dan perempuan keduanya dapat menerima warisan baik dari garis kekerabatan laki-laki maupun dari gariskekerabatan perempuan. Jenis kelamin bukanlah halangan kewarisan dalam waris Islam. Dasarnya dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176m khusunya pada ayat 7. Dapat ditegaskan bahwa prinsip bilateral berlaku baik garis ke atas maupun ke samping.

 

4.             Prinsip Kewarisan Hanya Karena Kematian

          Peralihan harta warisan seseorang kepada yang lain dengan sebutan kewarisan, berlaku setelah yang pemiliknya meninggal dunia. Tidak ada pewarisan sepanjang masih hidup. Segala bentuk peralihan harta pemilik semasa masih hidup tidak termasuk dalam hukum kewarisan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.

          Waris Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan hanyalah melalui kematian. Dalam KUHP dikenal kewarisan secara ab intestato yang tidak juga mengenal kewarisan secara wasiat yg dibuat pewaris se masa masih hidup. Hal relevan dengan prinsip ijbari dimana seseorang dapat bertindak bebas atas harta kekayaannya semasa masih hidup, tidak lagi setelah meninggal dunia.

          Kata warasa menunjukkan bahwa proses kewarisan berlaku setelah kematian (fi’il maadhi). Prinsip kematian ini agak berbeda dalam kew adat, kewarisan dapat dimulai sejak pewaris masih hidup

 

B.     Sebab Kewarisan

Menurut jumhurul ulama, sebab-sebab seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia ada 3 (tiga), yakni kekerabatan/nasab, pernikahan, dan wala’ (memerdekakan budak).  Di samping ketiga sebab tersebut, para ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah juga memberi tambahan satu sebab, yaitu Jihatul maal. Untuk ulasan lebih rinci akan dipaparkan sebagai berikut.

 

 

1.            Kekerabatan/Nasab

 Seseorang dapat memperoleh harta warisan atau menjadi ahli waris salah satunya disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan/nasab dengan si pewaris (muwarrits). Hal ini ditegaskan Allah SWT melalui firman-Nya dalam QS. Al-Anfal ayat 75.

 

 وَاُوْلُواالْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْٰبِبَعْضٍِكِتٰبِ اللّٰهِقلى اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ...

 

Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat), di dalam kitab Allah. Sesungguhnya allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

 

 Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan (si pewaris) dengan orang yang mewarisi (ahli waris) yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.

 Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara si pewaris dengan ahli waris, kekerabatan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yakni:

a.  Ushul, yaitu pertalian lurus ke atas dari si mati, seperti ibu, nenek, ayah, kakek, dan seterusnya.

b.    Furu’, yaitu pertalian lurus ke bawah, yang merupakan anak turun dari si mati, seperti anak, cucu, cicit, dan seterusnya.

c.    Hawasyi, yaitu pertalian menyamping dari si mati, seperti saudara, paman-bibi, keponakan, danseterusnya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.

 

 Selain berdasarkan nasab, seseorang menerima warisan terjadi dengan jalan fardhu, ta’shib, yaitu menerima sisa dari yang telah diambil oleh mereka yang berhak berdasar fardhu, dan jalan lainnya dengan kedua-duanya, yaitu di satu keadaan dengan jalan fardhu dan di keadaan lain dengan jalan ta’shib. [2] Dan apabila dihubungkan dengan bagian yang diterima si ahli waris sebagai akibat hubungan kekerabatan, maka dikelompokkan menjadi empat. Antara lain:

1) Ashabul furud an-nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu jumlahnya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.

2)  Ashabah nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi mendapat sisa dari ashabul furud, atau mendapat seluruh peninggalan apabila tidak ada ashabul furud sama sekali. Ashabah nasabiyah ini kesemuanya terdiri dari laki-laki.

3)   Golongan kerabat yang mendapat dua macam bagian secara bersama-sama, yaitu furudul muqaddarah dan juga sisa (ashabah), seperti ayah, kakek, dan seterusnya.

4)   Dzawil arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk ashabul furud dan ashabah, seperti cucu dari anak perempuan dan lain sebagainya.

 

2.            Pernikahan

Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri, sekalipun belum atau tidak terjadi persetubuhan. Berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi di sini hanyalah suami atau istri dari orang yang mewariskan harta atau muwarrits. Sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan. Meski mertua dan menantu tinggal serumah, maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan warisan kepada adik iparnya, meski mereka tinggal serumah.

Pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah teman hidup yang saling membantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Oleh sebab itu, Allah SWT memberikan sebagian harta tertentu sebagai imbalan pengorbanan atas jerih payahnya apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan harta. Pernikahan yang menyebabkan seorang suami atau istri dapat mewarisi memerlukan dua syarat, yaitu:

 

a)    Akad nikah tersebut sah menurut syariat Islam, baik keduanya telah berkumpul ataupun belum. Ketentuan ini didasarkan pada:

  Keumuman ayat-ayat mawaris

  Tindakan Rasulullah SAW terhadap kewarisan Barwa’ binti Wasyiq yang suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpuli dan menetapkan maharnya. Dimana dalam hal ini Rasulullah SAW menunjukkan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan tidak bergantung pada sudah berkumpulnya suami-istri atau telah terlunasinya pembayaran mahar, melainkan bergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan. Adapun pernikahan yang tidak sah (batil atau rusak), tidak menyebabkan  seorang suami atau istri mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan tersebut dikatakan batil dan menyebabkan tidak saling mewarisi antara suami dan istri.

 

b)   Ikatan pernikahan antara suami-istri tersebut masih utuh atau dianggap masih utuh

 Suatu perkawinan dianggap masih utuh apabila perkawinan tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i dan pihak istri masih dalam masa iddah. Pada masa iddah tersebut suami masih mempunyai hak penuh untuk merujuknya kembali, baik dengan perkataan maupun perbuatan tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar mahar, menghadirkan dua orang saksi ataupun seorang wali. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi terpenuhi.

Apabila suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang masih dalam masa iddah talak raj’i, maka istri tersebut masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, apabila masa iddah istri tersebut telah habis, menurut ijma’ keduanya tidak dapat saling mewarisi harta peninggalannya. Dan bila seorang suami dalam keadaan sakit berat menalak istrinya kemudian ia meninggal saat istrinya masih dalam masa iddah, maka istri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Namun bila istrinya meninggal dunia, maka suami tidak berhak mewarisi harta istrinya. Pendapat ini dianut oleh Imam Syuraih, As-sa’by, Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, yang bersumber dari Umar r.a. dan Utsman r.a. [4]

 

 

3.            Wala’

  Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba. Wala’ disebut juga dengan istilah wala’ul itqi dan/atau wala’un nikmah. Dikatakan wala’ul itqi, apabila seseorang membebaskan hamba sahaya dengan seluruh barang-barang yang dimiliknya, sehingga menimbulkan suatu ikatan antara hamba sahaya dengan orang yang membebaskannya.

 

Berdasarkan syariat Islam, wala’ digunakan untuk memberi pengertian:

a)    Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan seorang hamba sahaya

Wala’ dalam arti ini disebut juga wala’ul ataqah. Wala’ jenis ini merupakan kekerabatan karena sebab hukum (ushubah sababiyah), dan bukan karena adanya pertalian darah. Apabila seseorang telah membebaskan atau memerdekakan hambanya, berarti ia telah merubah status hukum orang yang semula tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak, termasuk memiliki dan mengelola dan mengadakan transaksi-transaksi terhadap harta bendanya sendiri, termasuk mampu melakukan tindakan hukum lainnya. Hal ini dianggap sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah dihadiahkan kepada hambanya, dan sebagai jasa orang yang telah memerdekakan hamba tersebut. sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

 

اِنَّمَاالْوَلَاءُلِمَنِ اعْتَقَ  (متفق عليه)

 

Artinya: “Sesungguhnya hak wala’ itu bagi oramg yang memerdekakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Rasulullah SAW menganggap wala’ sebagai kerabat berdasarkan nasab, sebagaimana dalam sabdanya:

 

الْوَلَاءُلُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لَايُبَاعُ وَلَايُوْهَبُ (رواه الحاكم)

 

Artinya: “Wala’ itu ialah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” (HR. Hakim)

 

Berdasarkan hadits tersebut, bagian yang diterima oleh wala’ adalah sebagaimana kedudukan barunya dalam nasab, apakah dianggap sebagai saudara ataukah sebagai anak, dan sebagainya. Dari hadits ini pula dapat diketahui bahwa orang yang mempunyai hak wala’ (orang yang  membebaskan hamba) dapat mewarisi harta peninggalan hamba sahaya yang dimerdekakannya apabila tidak terdapat ahli waris, dzawil arham maupun tidak memiliki suami/istri. Namun apabila orang yang membebaskan tersebut meninggal dunia, maka si hamba yang telah dibebaskan tidaklah mewarisi harta bendanya. Golongan Ibadiliyah, yaitu segolongan Khawarij pengikut Abdullah Ibnu Ibaadl tidak membenarkan sebab ini untuk menerima harta warisan.

b)   Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan orang lainnya

  Wala’ dalam arti ini disebut juga dengan wala’ul muwalah. Misalnya seorang yang berjanji kepada orang lain, “Wahai saudara, engkau adalah tuanku yang dapat mewarisi aku bila aku telah meninggal, dan dapat mengambil diyat untukku bila aku dilukai seseorang”. Kemudian orang lain yang diajak berjanji menerimanya. Dalam kasus ini pihak pertama disebut Al-Mawali atau Al-Adna, dan pihak kedua disebut Al-Mawala atau Al-Maulana. Namun seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia di zaman sekarang ini, sebab mewarisi ini nyaris tidak lagi terjadi.

            Adapun perjanjian saling setia dan tolong-menolong ini, oleh jumhur ulama dalam Kitab Undang-undang Warisan Mesir telah dinasakhkan dan tidak dipandang sebagai sebab untuk memperoleh harta warisan. Hanya ulama Hanafiyah saja yang masih berpendapat bahwa ketentuan ini tidak dinasakh, akan tetapi penerimaan pusaka atau pewarisan mereka harus diakhirkan setelah dzawil arham.

            Terkait contoh pada wala’ul muwalah di atas, dalam pemaparannya belum diketahui bagaimana ketentuan yang harus dilakukan dalam penerapannya karena terbatasnya informasinya yang membahas kasus ini. Apakah harus dengan menggunakan saksi sebagaimana halnya wasiat ataukah tidak. Namun apabila kita pahami sendiri lebih lanjut, maka hal tersebut tergantung pada situasi dan kondisi pada masanya. Barangkali memang yang terjadi pada masa dulu wala’ dapat dilakukan tanpa adanya saksi, karena pada masa itu kejujuran sangatlah dijunjung tinggi. Namun untuk masa kini, sepertinya memang hal itu tidak mungkin dilakukan lagi. Hal ini juga didukung karena sistem perbudakan di tengah peradaban manusia di zaman sekarang ini tidak berlaku lagi, sebagaimana disebutkan di atas.

4.         Jihatul Islam (Baitul Maal)

  Setelah kita membahas tiga sebab penerimaan harta warisan di atas, ada pula pertanyaan, “Bagaimana apabila si muwarrits tidak memiliki ahli waris?” atau “Bagaimana apabila harta warisannya tidak habis dibagi?”.

  Dalam hal ini golongan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ke-Islaman juga menjadi sebab dalam pewarisan harta. Ini berarti apabila seseorang telah meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris, atau ia mempunyai ahli waris tetapi harta peninggalannya tidak habis dibagikan, maka peninggalan tersebut harus diserahkan kepada Kas Perbendaharaan Negara. Sehingga penyetoran ini bukan berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan sosial, melainkan atas dasar secara ushubah.

  Para ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini menjadikan sabda Rasulullah SAW sebagai dasarnya.

 

اَنَاوَارِثُ مَنْ لَاوَارِثَ لَهُ اَعْقِلُ عَنْهُ وَارِثُهُ (رواه ابوداود)

 

Artinya: “Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Saya membayar dendanya dan mewarisi daripadanya.” (HR. Abu Dawud)

 

 Dalam hadits tersebut dijalaskan bahwa meskipun Rasulullah SAW menjadi ahli waris bagi orang-orang yang tidak memiliki ahli waris, akan tetapi beliau tidak mewarisi untuk dirinya sendiri, melainkan membaginya untuk kepentingan umat Islam pada umumnya. Begitu pula orang-orang Islam lainnya, mereka juga dibebani kewajiban membayar diyat untuk saudaranya sesama Muslim yang tidak memiliki kerabat, sehingga kedudukan mereka sagaikan ashabah dalam lingkungan kerabat. Atas dasar tersebutlah para penguasa (pemerintah) dapat memerintahkan agar harta benda tersebut diserahkan ke baitul maal atau disimpan di tempat lain yang dipandang aman sebelum dibagikan sebagai dana sosial untuk kepentingan umat Islam.

            Hal ini juga tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana yang tertulis dalam BAB II, pasal 174, yang isinya kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan terdiri dari dua orang yaitu sebab sebab hubungan darah dan hubungan perkawinan. Jika tidak mempunyai ahli waris, sesuai dengan KHI BAB III, pasal 191, maka harta benda tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

 

C.    Rukun, Syarat dan Penghalang Kewarisan

Tiga rukun warisan yang perlu dipenuhi, yaitu:

  1. Orang yang mewariskan hartanya (Pewaris),
  2. orang yang mewarisi hartanya (Ahli Waris), dan
  3. harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah meninggal dunia.

Dalam hukum waris Islam terdapat empat syarat utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan pembagian warisan, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Orang yang mewariskan harta peninggalan benar telah meninggal dunia atau telah ditetapkan oleh hukum bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia jika telah lama hilang atau tidak diketahui keberadaannya.
  2. Ahli waris masih hidup.
  3. Ahli waris memiliki hubungan dengan pewaris karena hubungan pernikahan, kekerabatan, dan memerdekakan budak.
  4. Ahli waris yang ditetapkan oleh hakim berhak menerima warisan.

Penghalang kewarisan diantaranya:

1.             Rencana Pembunuhan

          HR Ahmad : Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tdk dapat mewarisinya, walaupun si korban tidak memiliki AW selain dirinya, dan walaupun korban itu bapaknya maupun anaknya. Maka bagi pembunuh tidak berhak mewarisinya. Lain halnya kaum khawarij bukanlah halangan kewarisan.

          Kaidah fikih : Barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia diberi sanksi tidak boleh mendapatkannya. Pembunuhan tanpa kesengajaan, ulama berbeda pandangan, Imam Syafii menegaskan segala jenis pembunuhan penghalang kewarisan karena keumuman hadis itu.

          Imam Hanafi : pembunuhan langsung atau sengaja penghalang kewarisan sedangkan pembunuhan tidak langsung atau tanpa kesengajaan tidak menghalangi kewarisan.

 

2.             Berlainan agama

          Hadis : Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam (muttafaq alaih). Perbedaan mazhab bukanlah menjadi halangan kewarisan.

3.             Perbudakan

          Hamba tidak memiliki kecakapan bertindak, karenanya ia pun bagian harta kekayaan yang dapat diwariskan.

          Surat an-Nahl ayat 75 : Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun…Saat perbudakan tidak aktual lagi dibicarakan karena zaman telah berubah.

4.            Berlainan negara :

Faktor ini meskipun para ulama fikih terdahulu sepakat sebagai penghalang kewarisan relevan ketika itu krn sering terjadi peperangan antar suku/wilayah, dan jauhnya jarak tempuh dengan alat sederhana. Saat ini perlu reinterpretasi ulang karena halangan-halangan yang disebutkan itu tidak aktual lagi saat ini, hubungan antgar negara baik, teknolgi sudah canggih, islam juga universal.

 

D.    TAHAPAN PEMBAGIAN HUKUM WARIS

            Tahap pembagian ahli waris, yaitu:

  1. Menentukan ahli waris yang masih hidup dan berhak mendapatkan warisan.
  2. Menentukan bagian masing-masing ahli waris antara ashab Al-furuiid (ahli waris yang menerima bagian berdasarkan ketentuan dalam Al-Quran) dan Ashabah (Ahli waris yang mendapatkan sisa setelah semua warisan dibagikan berdasarkan pembagiannya).
  3. Menentukan asal masalah (kelipatan persekutuan terkecil/KPT), contohnya 1/2  asal masalahnya 2, 1/3 asal masalahnya 3.
  4. Menentukan siham (Nilai yang dihasilkan dari perkalian KPK dan bagian pasti ahli waris dari golongan ashab Al-furuiid) masing-masing ahli waris.

E.     BESARNYA BAGIAN AHLI WARIS

            Berdasarkan prinsip pewarisan dari KUHP, seorang ahli waris harus memiliki hubungan darah dengan pewaris.Supaya lebih jelas, simak empat golongan ahli waris menurut KUHP berikut ini.

1.       Golongan I—Keluarga Kandung atau Istri/Suami yang Hidup Paling Lama dengan Pewaris

    Penerima waris yang menempati golongan I adalah anak-anak dan pasangan sah dari pewaris.Dalam kasus ini, harta yang diberikan bersifat mutlak atau tidak bisa dipindahtangankan ke pihak kedua selama ahli waris masih hidup.

    Berbicara soal anak—sebagai ahli waris—ketentuannya sudah tertulis dalam Pasal 852 KUHP. Berikut bunyi pasalnya :

    “Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisiharta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluargasedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin ataukelahiran yang lebih dulu.”

    “Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yangmeninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhakkarena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atassebagian mewarisi sebagai pengganti.”

    Pasal tersebut menyatakan, bahwa anak—yang memiliki hubungan darah dengan orang tuanya—berhak menerima waris.Dalam kasus ini, termasuk anak-anak hasil hubungan di luar nikah atau korban perceraian.Hal pewarisan tersebut juga diatur secara jelas oleh Pasal 862-866 KUHP.

    Disebutkan dalam pasal 862-866; ahli waris dari golongan anak-anak hasil hubungan di luar perkawinan sah berhak mendapatkan :

                                        a.         1/3 apabila pewaris memiliki anak atau istri sah;

                                        b.         1/2 apabila pewaris meninggalkan keluarga sedarah, tetapi tidak memiliki keturunan sah;

                                        c.         3/4 apabila ahli waris sah tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan derajat yang lebih jauh dan;

                                        d.         seluruh harta waris apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan sah atau keluarga sedarah.

     Ketentuan keempat bisa berubah jika ahli waris atau anak-anak hasil hubungan di luar pernikahan meninggal dunia.Maka seluruh harta waris jatuh ke tangan keturunannya yang sah.

2.       Golongan II

    Anggota keluarga yang termasuk ahli waris golongan II, yaitu bapak, ibu, atau saudara kandung dari pewaris.Ahli waris ini bisa mendapatkan bagian jika golongan I tidak ada.

    Ketentuan mengenai ahli waris golongan II diatur dalam Pasal 854-856 KUHP; yang berbunyi :Pasal 854 “Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian.Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian.”

    Pasal 855

    “Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, dan bapak atau ibunya telah meninggal lebih dahulu daripada dia, maka bapaknya atau ibunya yang hidup terlama mendapat separuh dan harta peninggalannya, bila yang mati itu meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan hanya satu orang saja; sepertiga, bila saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan dua orang; seperempat bagian, bila saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan lebih dan dua. Sisanya menjadi bagian saudara laki-laki dan perempuan tersebut.”

    Pasal 856

    “Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan seorang keturunan ataupun suami dan isteri, sedangkan bapak dan ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka saudara laki-laki dan perempuan mewarisi seluruh warisannya. “

3.       Golongan III

    Golongan ketiga terdiri dari kakek dan nenek dari keluarga bapak atau ibu kandung pewaris.Mereka berhak memperoleh harta waris ketika golongan II mengesampingkan atau tidak ada.

    Aturan pembagian waris golongan ketiga tertulis dalam KUHP Pasal 853-858.Di situ disebutkan, bahwa ahli waris harus memiliki hubungan darah dengan ibu atau bapak kandung ke atas. Jika kekerabatannya punya derajat kedekatan yang sama, harta waris dibagi sama rata.

    Sebaliknya, kalau ada kerabat yang derajat hubungannya lebih dekat; pewaris harus mengutamakan ahli waris ini.Pada pasal-pasal selanjutnya, disebutkan mengenai hak kakek atau nenek pewaris mengenai warisan.Salah satunya adalah Pasal 854 yang berbunyi :

     “Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, makabapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian dan hartapeninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atauperempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian.Bapak dan ibunya masing-masingmewarisi seperempat bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atauperempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang duaperempat bagian.”

4.       Golongan IV

    Ahli waris golongan IV menerima warisan jika golongan III tidak ada atau mengabaikan.Golongan ini terdiri dari keluarga kandung dari orang tua pewaris, semisal paman dan bibi.Adapun mengenai pembagiannya diatur dalam Pasal 858, 861, dan 873 KUHP.

    Berikut ini bunyi ketentuan dalam Pasal 858 yang mengacu pada Pasal 853 KUHP : “Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka separuh harta peninggalan itu menjadi bagian dan keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis ke samping dan garis ke atas lainnya, kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut: Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas, maka keluarga sedarah terdekat dalam tiap-tiap garis ke samping masingmasing mendapat warisan separuhnya. Bila dalam satu garis ke samping terdapat beberapa keluarga sedarah dalam derajat yang sama, maka mereka berbagi antara mereka kepala demi kepala tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 845.”

 

F.     CONTOH PEMBAGIAN WARIS

Bagian dari harta Amir dan istrinya dikeluarkan terlebih dahulu, yaitu sebanyak setengahnya. Sedangkan, setengah bagiannya lagi (dianggap = 1) dibagikan:

  • Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan  bagian, atau  bagian atau bagian.
  • Istri mendapatkan  bagian, atau  , atau  bagian.
  • Sisanya, yaitu :  – (  +  +  ) =  -  =  bagian dibagikan kepada Ahmad, Anita, dan Annissa dengan perbandingan= 2:1:1

 

Bagian Ahmad     =  x  =

Bagian Anita         =  x  =

Bagian Annisa     =  x  =

 

  • Bagian : Ayah + Ibu + Istri + Ahmad + Anita + Annissa

=  +  +  +  +  +  =  = 1

 

 

G.    PERMASALAHAN AUL

Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.

 

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.

 

Ibu Reni dan Bapak Aldi menikah pada tahun 2007. Ibu Reni yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah SMA dan Bapak Aldi yang berprofesi sebagai anggota POLRI di Polres. Selama menikah keduanya tidak dikaruniai seorang anak pun. Pada tahun 2012 bu Reni menderita sakit kanker kandungan sehingga ia pun meninggal pada tahun 2013

Bu Reni meninggalkan beberapa harta mulai dari tanah, tabungan, dan warisan dari almarhumah bapaknya yang jika dikalkulasikan sebesar Rp. 900.000.000,- . Ibu Reni meninggalkan seorang suami, dua orang sdri kandung yang bernama Rini dan Luna, dan seorang ibu yang sudah tua. Bagaimanakah pembagian harta waris masing-masing sesuai hukum kewarisan Islam yang memiliki keadilan secara prosedural dan secara substansial.

1.                       Kedudukan dan posisi ahli waris

a.                   Ashabul furudh

·  Dzawil furudh nasabiyah:

1.                       Dua sdri kandung (bagian 2/3 tanpa anak)

Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 176.

Artinya: Jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

Berdasarkan dalil Aqli disini jelas bahwa jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung, bagian dua orang sdr perempuannya adalah 2/3 yang ketika dibagi masing-masing mendapat 1/3. Karena pada dasarnya saudara sekandung adalah ahli waris pengganti disaat pengganti utama tidak ada.

1.                       Ibu (bagian 1/3 karena pewaris tidak punya anak)

Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 11.

Artinya: jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;

Berdasarkan dalil aqli tampak bahwa jumlah warisan yang diterima ibu lebih besar karena pewaris tidak mempunyai anak. Anak disini adalah ahli waris utama yang telah tergantikan oleh Ibu

·  Dzawil furudh sababiyah:

1.                       Suami (bagian ½ pewaris tidak mempunyai anak)

Dalil naqli QS. An-Nisa’ ayat 12

Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.

Berdasarkan dalil aqli suami mendapatkan bagian waris sebesar ½ karena pewaris tak mempunyai anak. Dimana suami memiliki hubungan terdekat dengan si mati melalui sebab perkawinan.

  1. Penyelesaian kasus Melalui Aul

Ahli Waris

Fard

Asal Masalah: 6 Sahamnya

Penerimaan (di-Aul-kan)

Penyebut jadi 9 (3+2+4)

Suami

½

½ x 6 = 3

3/9x Rp. 900.000.000,-= Rp. 300.000.000,-

Ibu

1/3

1/3x 6 = 2

2/9 x Rp 900.000.000,-= Rp. 200.000.000,-

2 sdri kandung

2/3

2/3 x 6 = 4

4/9xRp. 900.000.000,-= Rp. 400.000.000,-

Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah yang pertama maka harta akan mengalami kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena bagian ahli waris total sebanyak Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar Rp. 900.000.000,-. Akan tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni suami mendapatkan Rp. 300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-, dan dua saudari kandung mendapatkan Rp. 400.000.000,-

Secara istilah menurut Ulama Faradiyun aul adalah bertambahnya jumlah bagian dzawil furudh atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Sehingga jelas bahwa hal ini dapat terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan sehingga menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat bagian.

Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya.

 

H.    PERMASALAHAN RAD

Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.

Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:

  1. Adanya ashhabul furudh
  2. Tidak adanya ashabah
  3. Adanya sisa harta waris

Pak Romi adalah seorang pemborong sawah. Ia mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan. Istri pak Romi meninggal sebulan yang lalu karena terkena serangan jantung. Sehingga Pak Romi kehilangan istri yang dicintainya.

Akhir-akhir ini kesehatan pak Romi mengalami penurunan akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Rokok yang merupakan sesuatu yang digandrungi pak Romi telah merenggut nyawanya tahun ini. Pak Romi meninggalkan, seorang anak perempuan, dan empat orang cucu perempuan dari anak perempuan.

Pak Romi tergolong Jutawan yang sukses karena ketika dikalkulasikan hartanya sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Bagaimanakah pembagian harta waris yang sesuai dengan perspektif konsep hukum waris Islam yang berkeadilan prosedural dan berkeadilan substansial.

1.    Kedudukan dan Posisi Ahli Waris

a.                   Ashabul Furudh

·       Dzawil Furudh Nasabiyah

1.    Seorang anak perempuan (bagian 1/2 harta waris)

Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 11.

Artinya: jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta.

Berdasarkan dalil aqli jika seorang suami istri hanya memiliki seorang anak perempuan secara otomatis harta tersebut akan jatuh di tangan anak perempuan tersebut. Akan tetapi islam memberikan bagian bagi anak perempuan tunggal sebesar ½ bagian.

1.    Empat orang cucu perempuan (bagian 1/6 harta waris)

Berdasarkan dalil aqli jelas bahwa cucu perempuan berhak mendapatkan 1/6 bagian harta waris karena mereka termasuk dzawil furudh nasabiyah.

1.    Diagram Pohon Ahli Waris

Ket:                                                                                       

     : Istri (mati)                                       : Menantu laki-laki

     : Suami (mati)                                   : Cucu Perempuan (4 orang: 1/6 bagian

     : Anak Perempun (1/2 bagian)

1.    Penyelesaian kasus Melalui Radd

Ahli Waris

Fard

Asal Masalah: 6, sahamnya

Penerimaannya (di-Radd-kan)

Penyebut jadi 4 (3+1)

Anak Pr

½

½ x 6 = 3

¾ x Rp. 6.000.000.000,- = Rp.4.500.000.000,-

Cucu pr dari anak pr

1/6

1/6 x 6 = 1

¼ x Rp. 6.000.000.000,- = Rp. 1.500.000.000,-

Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah yang pertama maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena bagian ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Akan tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan mendapatkan Rp. 4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp. 1.500.000.000,-

Secara definitif yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah pengembalian bagian yang tersisa dari bagian zawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar-kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.

Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya.


No comments:

Post a Comment