Tuesday, 4 August 2020

UJIAN KOMPETENSI 1 ( UTS ) Dasar Dasar HTN Islam

A.    Obyek kajian dan metode mempelajari Fiqih Siyasah

Setiap ilmu mempunyai objek dan metode, maka kalau kita membicarakan suatu ilmu haruslah mengetahui apa objeknya , luas lapangan pembicaraan, bahasan dan metodenya. Fiqih siyasah adalah ilmu yang otonom sekalipun bagian dari ilmu fiqih. (Dr. J. Suyuthi Pulungan:1993). Selanjutnya, Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip Dr.J. Suyuthi Pulungan (1993, hal.27), mengungkapkan bahwa bahasan ilmu fiqih mencakup individu, masyarakat dan Negara, meliputi bidang-bidang ibadah, muamalah, kekeluargaan, perikatan, kakayaan, warisan, criminal, peradilan, acara pembuktian, kenegaraan dan hukum-hukum internasional, seperti perang, damai dan traktat.

Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara, hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta kebutuhan negara tersebut.

Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mengungkapkan tiga pendapat tokoh tentang bidang-bidang fiqih siyasah.  Pertama, Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat membahas bidang siyasat dusturiyat (siyasah perundang-undangan), siyasat maliyat (siyasat keuangan), siyasat qadhaiyat (siyasah peradilan), siyasat harbiyat (siyasat peperangan), dan siyasat idariyat (siyasah administrasi).

Kedua, Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Siyasatal Syariat fi Ishlah al Ra’i wa al-raiyat membahas siyasat dusturiyat, siyasat idariyat dan siyasah maliyat. Ketiga,  Abdul wahab khalaf dalam bukunya Al-Siyasat Al-Syariyat hanya membahas tiga bidang saja yaitu siyasat dusturiyat, siayasar kharijiyat (siyasah hubungan luar negeri), dan siyasat maliyat. Keempat, Prof. DR.T.M Hasbi Ash Shiddieqy  membagi bidang fiqih siyasah kepada delapan bidang, yaitu siyasah dusturiyah, syariyah, siyasah Tasyri’iyah syariah, siyasah qadhoiyah syariah, siyasah maliyah syariah, siyasah idariyah syariah, siyasah khorijiyah syariah/siyasah dauliyah, siyasah tanfiedziyah syariah, siyasah harbiyah syariah.

Sementara itu, Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada (2008, hal 16) juga mengemukakan pendapat Abdurahman Taj yang mengklasifikasikan bidang kajian fiqih siyasah menjadi tujuh macam , yakni (1) siyasah dusturiyyah, (2) Siyasah Tasyriiyyah, (3) siyasah Qadhaiyyah, (4) Siyasah Maliyyah, (5) Siyasah Idariyyah, (6) Siyasah Tanfidziyyah, dan (7) Siyasah Kharijiyyah.

Selanjutnya, Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mempersempit pembidangan yang beragam tersebut kepada empat bidang saja yaitu:

1.      Bidang fiqih siyasah dusturiyah mencakup siyasah tasyri’iyah syariah (siyasah penetapan hukum yang sesuai dengan syariat), siyasah qadhaiyah syariah (siyasah peradilan yang sesuai menurut syariah), siyasah idariyah syariah (siyasah administrasi yang sesuai dengan syariat), dan siyasah tanfiedziyah syariah (siayasah pelaksanaan syariat).

2.      Bidang fiqih siyasah dauliyah/kharijiyah, yaitu siyasah yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antara negara-negara islam dengan negara-negara bukan islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga negara non muslim yang ada dinegara islam, hukum dan peraturan yang membatasi hubungan negara islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.s

3.      Bidang fiqih siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur tentang hak-hak orang-orang miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan.

4.      Bidang fiqih siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.

Metode yang digunakan dalam fiqih siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari fiqih pada umunya yaitu  metode usul fiqih dan metode kaidah fiqih. Keduanya telah teruji keakuratannyad alam menyelesaikan berbagai masalah. Metode usul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih  memiliki banyak alternatif untuk dihadapkan dengan masalah-masalah yang timbul. Metode tersebut adalah qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat, istishab, yang dikenal dengan istilah mashadir al tasyri’ al islam fi ma la nashasha fih (sumber penetapan hukum islam yang tidak berasal dari nash) dan kaidah-kaidah fiqih. Metode ini memberikan kebebasan berfikir bagi penggunanya. Tapi ia harus merujuk kepada dalil-dalil kulli (umum) yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil umum dijadikan sebagai alat kontrol terhadap ketetapan produk berpikir

B.     Manfaat Fiqih Siyasah Dan Hubungannya Dengan Ilmu Lain

a.       Kegunaan fiqih siyasah

Mempelajari fiqih siyasah sangat berguna bagi berbagai kepentingan. Ada dua kegunaan mendasar yang dapat dipetik dari mempelajari fiqih siyasa, yaitu:

1.      Kegunaan akademik, dan

2.      Kegunaan praktis.

Kegunaan akademik adalah kegunaan yang berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan ilmu politik yang merupakan bagian dari disiplin ilmu sosial. Dengan mempelajari figh siyasah, diperoleh hal – hal sebagai berikut:

1.      Bertambahnya wawasan pengetahuan di bidang ilmu social, terutama dalam pengetahuan politik perspektif islam, sehingga akan diperoleh pula pengetahuan yang berharga ketika melakukan perbandingan teoretis dengan ilmu politik perspektif Barat pada umumnya;

2.      Memepelajari akar – akar sejarah politik dan pemerintahan di masa nabi SAW, hingga KHulafa’Rasyidin berguna untuk menangkap ide dasar dan perinsip pembangunan politik dan pemerintahannya, sehingga dapat ditemukan unsur – unsur ideologi yang dapat diterapkan dalam kehidupan politik di masa kini;

3.      Prinsip – prinsip yang diterapkan dalam siyasah syar’iyah dapat dijadikan pedoman dan strategi pemberlakukan norma – norma politik pad masa kini. Misalnya penerapan prinsip demokrasi dalam kehidupan politik multipartai di Indonesia;

4.      Memahami Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber siyasah syar’iyah dapat menambah wawasan pemahaman dan penafsiran yang lebih luas jika bermaksud mengambil substansi qur’ani berkaitan dengan perpolitikan di abad modern ini;

5.      Mempelajari jatuh bangunnya pemerintahan pada masa lalu, terutama pada masa kejayaan islam dan kemundurannya merupakan pelajaran berharga untuk dijadikan cermin akademik tentang bangun dan runtuhnya kekuasaan di dunia; dan

6.      Berbagai pemikiran ulma’ tentang politik, misalnya dari Al-mawardi, Al-maududi, Ali Abdul Raziq, dan sebagainya berguna untuk menambah wawasan dan konsep – konsep mengenai kekuasaan dan peerintahan dengan acuan siyasah syar’iyah.

Pada dasarya, semua kegunaa akademik di atas dapat di jadikan rujukan perilaku politik dan mungkin pula untuk dicobaterapkan dalam konteks perpolitikan di dunia, terkecuali di Indonesia yang sedang membangun demokratisasi politik.

Penegakan prinsip demokrasi dan pemilihan umum sebagai alat  untuk mencapainya merupakan praktik langsung siyasah. Hanya saja, apakah berbasis pada nilai – nilai islam atau tidak ? oleh karena itu, salah satu kegunaan praktis dalam mempelajari siyasah syar’iyah adalah melakukan uji coba melalui pembangunan demokrasi dan nilai  - nilai politik di Indonesia sehingga apabila di temukan indikator kesuksesan, dunia akan bercermin kepada “demokrasi gaya Indonesia”.

Untuk menjalani semua itu, pemerintahan melahirkan berbagai kebijakan berupa perundangan atau berbagai peraturan. Peraturan perundngan yang di maksud merupakan bagian dari produk politik ekonomi yang dalam kajian  fiqh siyasah memiliki kegunaan praktis yang sangat signifikan dalam mencapai dalam ke maslahatan umum.

b.      Hubungan fiqh siyasah dengan Ilmu lain

Ilmu lain yang di maksudkan akan dibatasi pada disiplin ilmu tertentu, yaitu sebagai berikut :

1.      Ilmu fiqh, bahwa fiqh siyasah adalah sub dari ilmu fiqh yang merupakan bagian dari fiqh muamalah. Oleh sebab itu, fiqh siyasah merupakan ilmu peranata sosial yang dalam lingkup disiplin ilmu yang telah baku dinyatakan sebagai salah satu ranting dari ilmu sosial.

2.      Fiqh siyasah berhubungan dengan ilmu ushul fiqh dan kaidah – kaidah yang terdapat di dalamnya. Hal ini karena fiqh siyasah membutuhkan pengembangan pemahaman dan penafsiran terhadap sumber ajaran (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang tidak secara testual menetapkan dalil – dalil tafsili yang berkaitan dengan siyasah.

3.      Dibutuhkan pula ilmu tafsir beserta metode tafsir untuk memahami bahasa – bahasa yang digunakan sumber ajaran islam yang dimaksudkan dan relevan dengan pengembangan fiqh siyasah.

4.      Demikian pula dengan filsafat politik, fiqh siyasah memiliki keterkaitan yang signifikan, karena tanpa epistemologi politik, fiqh siyasah tidak akan mengembangkannya jati dirinyasebagai salah satu disiplin ilmu;

5.      Hubungan yang siqnifikan akan dirasakan pula antara fiqh siyasah dengan sosiologi hukum, ilmu sejarah, dan sejarah peradaban islam, juga tarikh tasyri’.

Hubungan utama antara fiqh siyasah dan ilmu – ilmu lainnya merupakan hubungan fungsional sebagai pengetahuan yang saling terkait satu sama lainnya.

 

C.    Dasar hukum tentang negara dalam Al qur’an dan assunnnah

Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan negara dalam Islam itu adalah fardhu kifayah atas semua kaum muslimin. Alasannya[6] :

1.      Ijma’ sahabat, sehingga meraka mendahulukan permusyawarahan tentang khilafah (politik dan ketatanegaraan) dari pada urusan jenazah Rosulullah saw. Ketika itu para pemimpin Islam ramai membicarakan soal khilafah (politik dan ketatanegaraan) itu, saling berdebat dan mengemukakan pendapat akhirnya tercapai kata sepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah, kepala negara pertama sesudah meninggalnya Rosulullah.

2.      Tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban (membela agama, menjaga keamanan dan sebagainya) selain adanya pemerintahan.

3.      Beberapa ayat Al-Qur’an  dan hadist yang menyuruh kita umat Islam untuk menaati pemimpin. Dan Allah menjanjikan bahwa akan menjadikan orang beriman sebagai Khalifah (pemimpin) di muka bumi.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya : “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qur’an Surat An-Nur ayat 55).

 

 

D.    Peristilahan Fiqih Siyasah, fiqh daulah, al ahkam al sulthoniyah

 

a.       Fiqih Siyasah

Istilah Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis, Fiqh merupakan bentuk mashdar(gerund) dari tashrifan kata fiqha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu.

Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih popular di definisikan sebagai berikut: Ilmu tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.

Sementara mengenai asal kata siyasah  terdapat dua pendapat. Pertama, sebagaimana di anut AL-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa mongol, yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya sehingga di baca siyasah. Pendapat tersebut di dasarkan kepada sebuah kitab undang-undang milik jengish khan yang berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan Negara dengan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu.

Kedua, sebagaimana di anut Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa, yakni bahasa Persia,turki dan mongol.

Ketiga, semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun, [3] yang semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda.

Sedangkan secara terminologis banyak definisi siyasah yang di kemukakan oleh para yuridis islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah sebagai berikut:

“Siyasah berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya”

 

Dalam redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah sebagai berikut:

“siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.

Dan definisi yang paling ringkas dari Ibn Manzhur tentang siyasah adalah “ mengatur sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.”

Setelah di uraikan definisi fiqh dan siyasah, baik secara etimologis maupun terminologis, perlu juga kiranya di kemukakan definisi fiqh siyasah. Penting dicatat, di kalanagn teoritisi politik islam, ilmu fiqh siyasah itu sering juga di sinonimkan denganilmu siyasah syar’iyyah. Sebagaimana dijelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan, fiqh siyasah adalah ilmu tata Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan ummat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hokum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghadirkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kejidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.

b.      Al Ahkam Al sulthoniyah

Al ahkam as sulthoniyah berasal dari bahasa arab, ahkam, jamak dari hukm =hukum, menahan ketentuan, dan ketetapan atas sesuatu, as Sultaniyyah adalah kata sifat dari sultan = dalil, hujjah, pengaruh, pemerintahan, dan kekuasaan. Hukum atau ketentuan yang menyangkut kekuasaan atau pemerintahan/kenegaraan. Islam sebagai agama yang universal tidak hanya mengandung ketentuan tentang hubungan manusia dengan tuhan saja, yang berupa aturan-aturan peribadatan, tetapi juga mencakup hubungan manusia dengan sesamanya, manusia dengan benda, dan manusia dengan alam sekitarnya, yang bertuang dalam hukum-hukum tentang muamalah, al al munakahat wa al usrah (pernikahan dan rumah tangga), mawaris (warisan), al-jinayat wa al-‘uqubat (pidana dan kriminalitas), jihad dan peradilan. Sebagian dari ketentuan-ketentuan tersebut tercakup dalam hukum atau ketentuan yang menyangkut aturan dan tata tertib dalam masalah kekuasaan atau pemerintahan/kenegaraan.

E.     Hubungan agama, Negara dan Hukum

Agama dan Negara memiliki pertalian yang erat Didasarkan pada prinsip hablun min Allah wa hablun min al nas Terdapat fakta sejarah selama masa Rasulullah dan Khulafa Rasyidin selama Periode Negara Madinah Nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip: Kekuasaan sebaga amanah; musyawarah; keadilan; persamaan; pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia; peradilan bebas; perdamaian; kesejahteraan; ketaatan rakyat

Asy Syura: 13“Ia (Allah) telah menetapkan untuk kamu (seperangkat) hukum yang bersumber dari al Din (agama Islam) hal-hal yang telah Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa, dan IsaKonsep Hukum dalam IslamSumber hukum: syari’ah (al Qur’an dan Sunnah Rasulullah), rasio bersifat komplementer terhadap syari’ahSubstansi hukum: mencakup pada aturan tingkah laku manusia yang normatif dan kesusilaan à termanifestasikan dalam al Ahkam al KhamsahSifat hukum: untuk kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat


No comments:

Post a Comment