A.
Obyek
kajian dan metode mempelajari Fiqih Siyasah
Setiap
ilmu mempunyai objek dan metode, maka kalau kita membicarakan suatu ilmu
haruslah mengetahui apa objeknya , luas lapangan pembicaraan, bahasan dan
metodenya. Fiqih siyasah adalah ilmu yang otonom sekalipun bagian dari ilmu
fiqih. (Dr. J. Suyuthi Pulungan:1993). Selanjutnya, Hasbi Ash Shiddieqy
sebagaimana dikutip Dr.J. Suyuthi Pulungan (1993, hal.27), mengungkapkan
bahwa bahasan ilmu fiqih mencakup individu, masyarakat dan Negara, meliputi
bidang-bidang ibadah, muamalah, kekeluargaan, perikatan, kakayaan, warisan,
criminal, peradilan, acara pembuktian, kenegaraan dan hukum-hukum
internasional, seperti perang, damai dan traktat.
Objek
fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang perlu
diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara, hubungan
dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain
yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta
kebutuhan negara tersebut.
Dr.
J. Suyuthi Pulungan (1993) mengungkapkan tiga pendapat tokoh tentang
bidang-bidang fiqih siyasah. Pertama, Al-Mawardi dalam kitabnya
Al-Ahkam al-Sulthaniyat membahas bidang siyasat dusturiyat (siyasah
perundang-undangan), siyasat maliyat (siyasat keuangan), siyasat qadhaiyat
(siyasah peradilan), siyasat harbiyat (siyasat peperangan), dan siyasat
idariyat (siyasah administrasi).
Kedua, Ibn
Taimiyah dalam kitabnya Al-Siyasatal Syariat fi Ishlah al Ra’i wa al-raiyat
membahas siyasat dusturiyat, siyasat idariyat dan siyasah
maliyat. Ketiga, Abdul wahab khalaf dalam bukunya Al-Siyasat
Al-Syariyat hanya membahas tiga bidang saja yaitu siyasat dusturiyat, siayasar
kharijiyat (siyasah hubungan luar negeri), dan siyasat maliyat. Keempat,
Prof. DR.T.M Hasbi Ash Shiddieqy membagi bidang fiqih siyasah kepada
delapan bidang, yaitu siyasah dusturiyah, syariyah, siyasah Tasyri’iyah
syariah, siyasah qadhoiyah syariah, siyasah maliyah syariah, siyasah idariyah
syariah, siyasah khorijiyah syariah/siyasah dauliyah, siyasah tanfiedziyah
syariah, siyasah harbiyah syariah.
Sementara
itu, Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada (2008, hal 16) juga mengemukakan
pendapat Abdurahman Taj yang mengklasifikasikan bidang kajian fiqih siyasah
menjadi tujuh macam , yakni (1) siyasah dusturiyyah, (2) Siyasah Tasyriiyyah,
(3) siyasah Qadhaiyyah, (4) Siyasah Maliyyah, (5) Siyasah Idariyyah, (6)
Siyasah Tanfidziyyah, dan (7) Siyasah Kharijiyyah.
Selanjutnya,
Dr. J. Suyuthi Pulungan (1993) mempersempit pembidangan yang beragam tersebut
kepada empat bidang saja yaitu:
1. Bidang
fiqih siyasah dusturiyah mencakup siyasah tasyri’iyah syariah (siyasah
penetapan hukum yang sesuai dengan syariat), siyasah qadhaiyah syariah (siyasah
peradilan yang sesuai menurut syariah), siyasah idariyah syariah (siyasah
administrasi yang sesuai dengan syariat), dan siyasah tanfiedziyah syariah
(siayasah pelaksanaan syariat).
2. Bidang
fiqih siyasah dauliyah/kharijiyah, yaitu siyasah yang berhubungan dengan
pengaturan pergaulan antara negara-negara islam dengan negara-negara bukan
islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga negara
non muslim yang ada dinegara islam, hukum dan peraturan yang membatasi hubungan
negara islam dengan negara-negara lain dalam situasi damai dan perang.s
3. Bidang
fiqih siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur tentang hak-hak orang-orang
miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan.
4. Bidang
fiqih siyasah harbiyah yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan dan
aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.
Metode
yang digunakan dalam fiqih siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan
dalam mempelajari fiqih pada umunya yaitu metode usul fiqih dan metode
kaidah fiqih. Keduanya telah teruji keakuratannyad alam menyelesaikan berbagai
masalah. Metode usul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih memiliki banyak
alternatif untuk dihadapkan dengan masalah-masalah yang timbul. Metode tersebut
adalah qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat, istishab, yang dikenal dengan
istilah mashadir al tasyri’ al islam fi ma la nashasha fih (sumber penetapan
hukum islam yang tidak berasal dari nash) dan kaidah-kaidah fiqih. Metode ini
memberikan kebebasan berfikir bagi penggunanya. Tapi ia harus merujuk kepada
dalil-dalil kulli (umum) yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil
umum dijadikan sebagai alat kontrol terhadap ketetapan produk berpikir
B.
Manfaat
Fiqih Siyasah Dan Hubungannya Dengan Ilmu Lain
a. Kegunaan
fiqih siyasah
Mempelajari
fiqih siyasah sangat berguna bagi berbagai kepentingan. Ada dua kegunaan
mendasar yang dapat dipetik dari mempelajari fiqih siyasa, yaitu:
1. Kegunaan
akademik, dan
2. Kegunaan
praktis.
Kegunaan
akademik adalah kegunaan yang berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya
pendidikan ilmu politik yang merupakan bagian dari disiplin ilmu
sosial. Dengan mempelajari figh siyasah, diperoleh hal – hal sebagai
berikut:
1. Bertambahnya
wawasan pengetahuan di bidang ilmu social, terutama dalam pengetahuan politik
perspektif islam, sehingga akan diperoleh pula pengetahuan yang berharga ketika
melakukan perbandingan teoretis dengan ilmu politik perspektif Barat pada
umumnya;
2. Memepelajari
akar – akar sejarah politik dan pemerintahan di masa nabi SAW, hingga KHulafa’Rasyidin berguna
untuk menangkap ide dasar dan perinsip pembangunan politik dan pemerintahannya,
sehingga dapat ditemukan unsur – unsur ideologi yang dapat diterapkan
dalam kehidupan politik di masa kini;
3. Prinsip
– prinsip yang diterapkan dalam siyasah syar’iyah dapat dijadikan pedoman dan
strategi pemberlakukan norma – norma politik pad masa kini. Misalnya penerapan
prinsip demokrasi dalam kehidupan politik multipartai di Indonesia;
4. Memahami
Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber siyasah syar’iyah dapat menambah wawasan
pemahaman dan penafsiran yang lebih luas jika bermaksud mengambil substansi
qur’ani berkaitan dengan perpolitikan di abad modern ini;
5. Mempelajari
jatuh bangunnya pemerintahan pada masa lalu, terutama pada masa kejayaan islam
dan kemundurannya merupakan pelajaran berharga untuk dijadikan cermin akademik
tentang bangun dan runtuhnya kekuasaan di dunia; dan
6. Berbagai
pemikiran ulma’ tentang politik, misalnya dari Al-mawardi, Al-maududi, Ali
Abdul Raziq, dan sebagainya berguna untuk menambah wawasan dan konsep – konsep
mengenai kekuasaan dan peerintahan dengan acuan siyasah syar’iyah.
Pada
dasarya, semua kegunaa akademik di atas dapat di jadikan rujukan perilaku
politik dan mungkin pula untuk dicobaterapkan dalam konteks perpolitikan di dunia,
terkecuali di Indonesia yang sedang membangun demokratisasi politik.
Penegakan
prinsip demokrasi dan pemilihan umum sebagai alat untuk mencapainya
merupakan praktik langsung siyasah. Hanya saja, apakah berbasis pada nilai –
nilai islam atau tidak ? oleh karena itu, salah satu kegunaan praktis dalam
mempelajari siyasah syar’iyah adalah melakukan uji coba
melalui pembangunan demokrasi dan nilai - nilai politik di Indonesia
sehingga apabila di temukan indikator kesuksesan, dunia akan bercermin kepada
“demokrasi gaya Indonesia”.
Untuk
menjalani semua itu, pemerintahan melahirkan berbagai kebijakan berupa
perundangan atau berbagai peraturan. Peraturan perundngan yang di maksud
merupakan bagian dari produk politik ekonomi yang dalam kajian fiqh
siyasah memiliki kegunaan praktis yang sangat signifikan dalam
mencapai dalam ke maslahatan umum.
b. Hubungan
fiqh siyasah dengan Ilmu lain
Ilmu
lain yang di maksudkan akan dibatasi pada disiplin ilmu tertentu, yaitu sebagai
berikut :
1. Ilmu
fiqh, bahwa fiqh siyasah adalah sub dari ilmu fiqh yang merupakan bagian dari
fiqh muamalah. Oleh sebab itu, fiqh siyasah merupakan ilmu peranata sosial yang
dalam lingkup disiplin ilmu yang telah baku dinyatakan sebagai salah satu
ranting dari ilmu sosial.
2. Fiqh
siyasah berhubungan dengan ilmu ushul fiqh dan kaidah – kaidah yang terdapat di
dalamnya. Hal ini karena fiqh siyasah membutuhkan pengembangan pemahaman dan
penafsiran terhadap sumber ajaran (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang tidak secara
testual menetapkan dalil – dalil tafsili yang berkaitan dengan siyasah.
3. Dibutuhkan
pula ilmu tafsir beserta metode tafsir untuk memahami bahasa – bahasa yang
digunakan sumber ajaran islam yang dimaksudkan dan relevan dengan pengembangan
fiqh siyasah.
4. Demikian
pula dengan filsafat politik, fiqh siyasah memiliki keterkaitan yang
signifikan, karena tanpa epistemologi politik, fiqh siyasah tidak akan
mengembangkannya jati dirinyasebagai salah satu disiplin ilmu;
5. Hubungan
yang siqnifikan akan dirasakan pula antara fiqh siyasah dengan sosiologi hukum,
ilmu sejarah, dan sejarah peradaban islam, juga tarikh tasyri’.
Hubungan
utama antara fiqh siyasah dan ilmu – ilmu lainnya merupakan hubungan fungsional
sebagai pengetahuan yang saling terkait satu sama lainnya.
C.
Dasar
hukum tentang negara dalam Al qur’an dan assunnnah
Kaum
muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan negara
dalam Islam itu adalah fardhu kifayah atas semua kaum muslimin. Alasannya[6] :
1. Ijma’
sahabat, sehingga meraka mendahulukan permusyawarahan tentang khilafah (politik
dan ketatanegaraan) dari pada urusan jenazah Rosulullah saw. Ketika itu para
pemimpin Islam ramai membicarakan soal khilafah (politik dan ketatanegaraan)
itu, saling berdebat dan mengemukakan pendapat akhirnya tercapai kata sepakat
memilih Abu Bakar sebagai khalifah, kepala negara pertama sesudah meninggalnya
Rosulullah.
2. Tidak
mungkin dapat menyempurnakan kewajiban (membela agama, menjaga keamanan dan
sebagainya) selain adanya pemerintahan.
3. Beberapa
ayat Al-Qur’an dan hadist yang menyuruh
kita umat Islam untuk menaati pemimpin. Dan Allah menjanjikan bahwa akan
menjadikan orang beriman sebagai Khalifah (pemimpin) di muka bumi.
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ
دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya
: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan
barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (Qur’an Surat An-Nur ayat 55).
D.
Peristilahan
Fiqih Siyasah, fiqh daulah, al ahkam al sulthoniyah
a. Fiqih
Siyasah
Istilah
Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua
kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis, Fiqh merupakan bentuk
mashdar(gerund) dari tashrifan kata fiqha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman
yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau
tindakan tertentu.
Sedangkan
secara terminologis, fiqh lebih popular di definisikan sebagai berikut: Ilmu
tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari
dalil-dalilnya yang rinci.
Sementara
mengenai asal kata siyasah terdapat dua
pendapat. Pertama, sebagaimana di anut AL-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal
dari bahasa mongol, yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin
berbaris kasrah di awalnya sehingga di baca siyasah. Pendapat tersebut di
dasarkan kepada sebuah kitab undang-undang milik jengish khan yang berjudul
ilyasa yang berisi panduan pengelolaan Negara dengan berbagai bentuk hukuman
berat bagi pelaku tindak pidana tertentu.
Kedua,
sebagaimana di anut Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa,
yakni bahasa Persia,turki dan mongol.
Ketiga,
semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa arab, yakni
bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun, [3] yang semula
berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan
dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai
pemelihara kuda.
Sedangkan
secara terminologis banyak definisi siyasah yang di kemukakan oleh para yuridis
islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah sebagai berikut:
“Siyasah
berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak
menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya”
Dalam
redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah sebagai
berikut:
“siyasah
berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta
pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi
mereka.
Dan
definisi yang paling ringkas dari Ibn Manzhur tentang siyasah adalah “ mengatur
sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.”
Setelah
di uraikan definisi fiqh dan siyasah, baik secara etimologis maupun
terminologis, perlu juga kiranya di kemukakan definisi fiqh siyasah. Penting
dicatat, di kalanagn teoritisi politik islam, ilmu fiqh siyasah itu sering juga
di sinonimkan denganilmu siyasah syar’iyyah. Sebagaimana dijelaskan di atas
dapat di tarik kesimpulan, fiqh siyasah adalah ilmu tata Negara Islam yang
secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan ummat
manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hokum,
peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan
dengan ajaran islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan
menghadirkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kejidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
b. Al
Ahkam Al sulthoniyah
Al
ahkam as sulthoniyah berasal dari bahasa arab, ahkam, jamak dari hukm =hukum,
menahan ketentuan, dan ketetapan atas sesuatu, as Sultaniyyah adalah kata sifat
dari sultan = dalil, hujjah, pengaruh, pemerintahan, dan kekuasaan. Hukum atau
ketentuan yang menyangkut kekuasaan atau pemerintahan/kenegaraan. Islam sebagai
agama yang universal tidak hanya mengandung ketentuan tentang hubungan manusia
dengan tuhan saja, yang berupa aturan-aturan peribadatan, tetapi juga mencakup
hubungan manusia dengan sesamanya, manusia dengan benda, dan manusia dengan
alam sekitarnya, yang bertuang dalam hukum-hukum tentang muamalah, al al
munakahat wa al usrah (pernikahan dan rumah tangga), mawaris (warisan),
al-jinayat wa al-‘uqubat (pidana dan kriminalitas), jihad dan peradilan.
Sebagian dari ketentuan-ketentuan tersebut tercakup dalam hukum atau ketentuan
yang menyangkut aturan dan tata tertib dalam masalah kekuasaan atau
pemerintahan/kenegaraan.
E.
Hubungan
agama, Negara dan Hukum
Agama
dan Negara memiliki pertalian yang erat Didasarkan pada prinsip hablun min
Allah wa hablun min al nas Terdapat fakta sejarah selama masa Rasulullah dan
Khulafa Rasyidin selama Periode Negara Madinah Nomokrasi Islam adalah suatu
negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip: Kekuasaan sebaga amanah;
musyawarah; keadilan; persamaan; pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak
asasi manusia; peradilan bebas; perdamaian; kesejahteraan; ketaatan rakyat
Asy
Syura: 13“Ia (Allah) telah menetapkan untuk kamu (seperangkat) hukum yang
bersumber dari al Din (agama Islam) hal-hal yang telah Ia wajibkan kepada Nuh
dan yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang Kami wajibkan kepada
Ibrahim, Musa, dan IsaKonsep Hukum dalam IslamSumber hukum: syari’ah (al Qur’an
dan Sunnah Rasulullah), rasio bersifat komplementer terhadap syari’ahSubstansi
hukum: mencakup pada aturan tingkah laku manusia yang normatif dan kesusilaan à
termanifestasikan dalam al Ahkam al KhamsahSifat hukum: untuk kesejahteraan di
dunia dan kebahagiaan di akhirat
No comments:
Post a Comment