A.
PENGERTIAN
DAN PERISTILAHAN PERJANJIAN SYARIAH
Perjanjian merupakan salah satu cara
untuk memperoleh sesuatu yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam melakukan kegiatan ekonomi. Perjanjian ini harus dibuat oleh
kedua belah pihak yang bertransaksi dan perjanjian inilah yang menentukan sah
atau tidaknya suatu transaksi. Hukum perjanjian merupakan aspek yang memegang
peranan penting di dalam pelaksanaan hukum privat, oleh karena itu Hukum
Perdata Islam mempunyai peluang sangat besar untuk diterapkan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penerapan Hukum Perdata Islam di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, didukung pula dengan jaminan kebebasan
yang diberikan oleh sistem hukum nasional Indonesia kepada setiap individu
untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi dirinya dalam menjalankan
aktivitas termasuk didalamnya bidang keperdataan. Kebebasan ini mencakup
kebebasan dalam menentukan isi/materi yang disepakati para pihak yang melakukan
hubungan hukum, cara-cara pelaksanaan, serta penyelesaiannya jika terjadi
sengketa.
Perjanjian, dalam sistem hukum
Indonesia, diatur dalam Buku III KUHPerdata. Pengertian perjanjian menurut
Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian
menurut Prof. Subekti, S.H., adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau akad. Akad
merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di dalam Al
Quran setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu kata akad
(al-aqadu) yang berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd
(al-ahdu) yang berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau
perjanjian.
Akad merupakan perjanjian antara
kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran)
dan qabul
(penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua
belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum
Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang
dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam
QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau
perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin)
yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
B.
RUKUN
DAN SYARAT PERJANJIAN SYARIAT
Adanya
suatu akad mengakibatkan para pihak terikat secara syariah berupa hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sesuai dengan prinsip
syariah. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam ditentukan dengan terpenuhinya
rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi
dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang
harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. Rukun akad yang
utama dan merupakan unsur penting dalam suatu akad/perjanjian adalah ijab dan
qabul. Unsur-unsur yang termasuk dalam rukun akad selain ijab qabul terdiri
dari :
- Shighat
al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri), harus
disampaikan secara lisan/tertulis sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.
- Al-Ma’qud
alaih/mahal a-aqad (objek akad), harus memenuhi
persyaratan berupa telah ada pada waktu akad diadakan, dibenarkan oleh
syara’, dapat ditentukan dan diketahui, serta dapat diserahkan pada waktu
akad terjadi.
- Al-Muta’aqidain/al-‘aqidain
(pihak-pihak yang berakad), harus mempunyai kecakapan
melakukan tindakan hukum dalam pengertian telah dewasa dan sehat akalnya,
apabila melibatkan anak-anak maka harus diwakili oleh seorang wali yang
harus memenuhi persyaratan berupa kecakapan, persamaan agama antara wali
dengan yang diwakili, adil, amanah, dan mampu menjaga kepentingan orang
yang berada dalam perwaliannya.
- Maudhu’
al-aqad (tujuan akad), harus ada pada saat akad
akan diadakan, dapat berlangsung hingga berakhirnya akad dan dibenarkan
secara syariah, dan apabila bertentangan akan berakibat pada
ketidakabsahan dari perjanjian yang dibuat.
Adapun yang menjadi syarat dalam akad berkaitan
dengan subyek akad dan obyek akad. Subyek akad adalah subyek hukum pada umumnya
yaitu pribadi-pribadi baik manusia maupun badan hukum yang pada dirinya
terdapat pembebanan kewajiban dan perolehan hak. Adapun syarat yang harus
dipenuhi seseorang dalam suatu akad adalah :
- aqil (berakal/dewasa)
- tamyiz (dapat
membedakan) sebagai tanda kesadaran
- mukhtar (bebas
melakukan transaksi/bebas memilih)
Syarat seseorang dalam berakad ini berkaitan
dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu kecakapan
dalam membuat perikatan. Adapun syarat obyek akad adalah :
- telah ada
pada waktu akad diadakan, obyek perikatan disyaratkan telah ada ketika
akad dilangsungkan dan sesuatu yang belum berwujud tidak boleh dijadikan
obyek akad. Hal ini disebabkan karena sebab akibat hukum akad tidak
mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada.
- dapat
menerima hukum akad/dibenarkan oleh syariah, obyek dari perikatan
merupakan barang/jasa yang dibenarkan oleh syariah untuk ditransaksikan,
dan sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek
akad.
- dapat
ditentukan dan diketahui, obyek akad harus diketahui dengan jelas fungsi,
bentuk dan keadaannya oleh para pihak.
- dapat
diserahkan pada waktu akad terjadi, obyek harus dapat diserahterimakan
secara nyata untuk benda berwujud atau dapat dirasakan manfaatnya untuk
obyek berupa jasa, serta obyek tersebut benar-benar di bawah kekuasaan
yang sah dari pihak yang berakad. Obyek ini telah wujud, jelas dan dapat
diserahkan pada saat terjadinya akad.
Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah
sebagai berikut:
- tidak
menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung
pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi
kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah
Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini
tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang
dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum
Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
- harus sama
ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus
didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak
boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat
ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka
perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini
menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
- harus
jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi
obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para
pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya
perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian
yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek
tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi
mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi
para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian
secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan perjanjian
tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka
akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.
C.
DASAR
HUKUM PERJANJIAN SYARIAH
Dalam hukum islam,
yang menjadikan sumber hukum pada zaman dahulu sampai sekarang hanyalah
al-quran dan sunnah. Dasar hukum
keduanya sebagai sebagai sumber syara’ tanpa ada yang terlibat, sedangkan yang
lain tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum kecuali sebatas dalil-dalil
syara’ saja itupun dengan ketentuan selama adanya dalalah-nya dan merujuk pada
nash-nash yang terdapat pada kedua sumber hukum yaitu al-quran dan sunnah.
1.
Al-Qur’an
Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 282 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ
وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا
إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ
وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً
تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا
إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا
فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika
mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[1]
2.
Hadits
HR Abu Dawud dan Hakim
“Allah SWT telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), ‘Aku adalah
yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya
tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang diantara kedua
berkhianat, maka aku keluar dari perserikatan keduanya.’56
3.
Ijtiha
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan
menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki
kedudukan yang sangat penting. Penggunaan akal untuk berijtihad telah
dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalat memiliki peran yang sangat
penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan muamalat
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis bersifat umum. Ijtihad dalam masalah
Hukum Perjanjian Syariah dilakukan oleh para Imam Mazhab, seperti Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Bentuk ijtihad kontemporer dari para ulama kini telah terbentuk
Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Inilah yang memungkinkan Hukum Perjanjian Syariah dapat mengikuti
perkembangan zamannya. Dengan menggunakan hasil ijtihad, para ulama kontemporer
yang sangat mengerti mengenai teknis transaksi bisnis yang berlaku di zaman
modern sekarang ini, namun Hukum Perjanjian Syariah tetap dapat dijalankan
sesuai dengan kaidah aslinya.
4.
Peraturan
Perundangan
Mengenai hukum kontrak (perjanjian) yang bersumber dari
undang-undang dijelaskan :
a.
Persetujuan
para pihak kontrak (perjanjian)
b.
UU
karena suatu perbuatan, selanjutnya yang lahir dari UU karena suatu perubahan
dapat dibagi:
1)
Yang dibolehkan (zaakwaarnaming),
2)
Yang berlawanan dengan hukum misalnya seorang karyawan yang membocorkan
rahasia perusahan meskipun dalam kontrak kerja tidak disebutkan perusahaan
dapat saja menutut karyawan tersebut karena perbuatan itu oleh UU termasuk
perbuatan yang melawan hukum (onreehtsmatige daad) untuk hal ini dapat dilihat
pasal 1365 KUHPerdata.[2][5]
Dalam
KUHPerdata di BAB ke II tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian dalam ketentuan umum dinyatakan :
a.
Pasal
1313 : suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
b.
Pasal
1314 : suatu perjanjian dibuat dengan Cuma-Cuma atau
atas beban. Suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
meneriama satu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangakan berjanjian atas beban
adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan suatu,
berbuat sesuatu atas tidak berbuat sesuatu.
D.
OBYEK
PERJANJIAN SYARIAH
Mahal Aqd adalah
objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya ada dan
membekas. Objek akad ini tidak semata “sesuatu benda” yang bersifat material (ayn/real
aset), tetapi juga bersifat subjektif dan abstrak. Dengan demikian,
objek akad tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan; benda
bukan harta, seperti dalam akad pernikahan; dapat berbentuk suatu kemanfaatan,
seperti dalam upah mengupah, serta tanggungan atau kewajiban (dayn/debt),
jaminan (tawsiq/suretyship),
agensi/kuasa (itlaq).
Oleh karena itu, objek akad
bermacam-macam sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah
barang yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai, objeknya adalah
barang gadai dan utang yang diperolehnya. Dalam akad sewa menyewa, objeknya
adalah manfaat yang disewa, seperti tenaga manusia, rumah, dan tanah. Dalam
perjanjian bagi hasil, objeknya adalah kerja petani/pedagang/ pengusaha dan
hasil yang akan diperoleh, dan selanjutnya.
Dengan kata lain, objek akad ini
sering disebut dengan prestasi, yaitu apa yang menjadi kewajiban dari satu
pihak dan apa yang menjadi hak bagi pihak lain. Prestasi ini bisa berupa
perbuatan positif maupun negatif. Bentuknya dapat berupa memberikan seuatu,
berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. (Pasal 1234 KUH Perdata).
No comments:
Post a Comment