Tuesday, 4 August 2020

BAB XIV ( Hukum Perjanjian Syariah )

A.    PENGERTIAN DAN PERISTILAHAN PERJANJIAN SYARIAH

            Perjanjian merupakan salah satu cara untuk memperoleh sesuatu yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam melakukan kegiatan ekonomi. Perjanjian ini harus dibuat oleh kedua belah pihak yang bertransaksi dan perjanjian inilah yang menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Hukum perjanjian merupakan aspek yang memegang peranan penting di dalam pelaksanaan hukum privat, oleh karena itu Hukum Perdata Islam mempunyai peluang sangat besar untuk diterapkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

             Penerapan Hukum Perdata Islam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, didukung pula dengan jaminan kebebasan yang diberikan oleh sistem hukum nasional Indonesia kepada setiap individu untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi dirinya dalam menjalankan aktivitas termasuk didalamnya bidang keperdataan. Kebebasan ini mencakup kebebasan dalam menentukan isi/materi yang disepakati para pihak yang melakukan hubungan hukum, cara-cara pelaksanaan, serta penyelesaiannya jika terjadi sengketa.

            Perjanjian, dalam sistem hukum Indonesia, diatur dalam Buku III KUHPerdata. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian menurut Prof. Subekti, S.H., adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

            Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau akad. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di dalam Al Quran setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu kata akad (al-aqadu) yang berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd (al-ahdu) yang berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.

            Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).

 

B.     RUKUN DAN SYARAT PERJANJIAN SYARIAT

            Adanya suatu akad mengakibatkan para pihak terikat secara syariah berupa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam ditentukan dengan terpenuhinya rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. Rukun akad yang utama dan merupakan unsur penting dalam suatu akad/perjanjian adalah ijab dan qabul. Unsur-unsur yang termasuk dalam rukun akad selain ijab qabul terdiri dari :

  1. Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri), harus disampaikan secara lisan/tertulis sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.
  2. Al-Ma’qud alaih/mahal a-aqad (objek akad), harus memenuhi persyaratan berupa telah ada pada waktu akad diadakan, dibenarkan oleh syara’, dapat ditentukan dan diketahui, serta dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
  3. Al-Muta’aqidain/al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad), harus mempunyai kecakapan melakukan tindakan hukum dalam pengertian telah dewasa dan sehat akalnya, apabila melibatkan anak-anak maka harus diwakili oleh seorang wali yang harus memenuhi persyaratan berupa kecakapan, persamaan agama antara wali dengan yang diwakili, adil, amanah, dan mampu menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya.
  4. Maudhu’ al-aqad (tujuan akad), harus ada pada saat akad akan diadakan, dapat berlangsung hingga berakhirnya akad dan dibenarkan secara syariah, dan apabila bertentangan akan berakibat pada ketidakabsahan dari perjanjian yang dibuat.

Adapun yang menjadi syarat dalam akad berkaitan dengan subyek akad dan obyek akad. Subyek akad adalah subyek hukum pada umumnya yaitu pribadi-pribadi baik manusia maupun badan hukum yang pada dirinya terdapat pembebanan kewajiban dan perolehan hak. Adapun syarat yang harus dipenuhi seseorang dalam suatu akad adalah :

  1. aqil (berakal/dewasa)
  2. tamyiz (dapat membedakan) sebagai tanda kesadaran
  3. mukhtar (bebas melakukan transaksi/bebas memilih)

Syarat seseorang dalam berakad ini berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu kecakapan dalam membuat perikatan. Adapun syarat obyek akad adalah :

  1. telah ada pada waktu akad diadakan, obyek perikatan disyaratkan telah ada ketika akad dilangsungkan dan sesuatu yang belum berwujud tidak boleh dijadikan obyek akad. Hal ini disebabkan karena sebab akibat hukum akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada.
  2. dapat menerima hukum akad/dibenarkan oleh syariah, obyek dari perikatan merupakan barang/jasa yang dibenarkan oleh syariah untuk ditransaksikan, dan sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad.
  3. dapat ditentukan dan diketahui, obyek akad harus diketahui dengan jelas fungsi, bentuk dan keadaannya oleh para pihak.
  4. dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, obyek harus dapat diserahterimakan secara nyata untuk benda berwujud atau dapat dirasakan manfaatnya untuk obyek berupa jasa, serta obyek tersebut benar-benar di bawah kekuasaan yang sah dari pihak yang berakad. Obyek ini telah wujud, jelas dan dapat diserahkan pada saat terjadinya akad.

Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut:

  1. tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
  2. harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
  3. harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.

Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.

 

C.    DASAR HUKUM PERJANJIAN SYARIAH

            Dalam hukum islam, yang menjadikan sumber hukum pada zaman dahulu sampai sekarang hanyalah al-quran dan sunnah.  Dasar hukum keduanya sebagai sebagai sumber syara’ tanpa ada yang terlibat, sedangkan yang lain tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum kecuali sebatas dalil-dalil syara’ saja itupun dengan ketentuan selama adanya dalalah-nya dan merujuk pada nash-nash yang terdapat pada kedua sumber hukum yaitu al-quran dan sunnah.

1.      Al-Qur’an

Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 282 :

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم        

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[1]

2.      Hadits

HR Abu Dawud dan Hakim

“Allah SWT telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), ‘Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang diantara kedua berkhianat, maka aku keluar dari perserikatan keduanya.’56

3.      Ijtiha

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalat memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis bersifat umum. Ijtihad dalam masalah Hukum Perjanjian Syariah dilakukan oleh para Imam Mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Bentuk ijtihad kontemporer dari para ulama kini telah terbentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Inilah yang memungkinkan Hukum Perjanjian Syariah dapat mengikuti perkembangan zamannya. Dengan menggunakan hasil ijtihad, para ulama kontemporer yang sangat mengerti mengenai teknis transaksi bisnis yang berlaku di zaman modern sekarang ini, namun Hukum Perjanjian Syariah tetap dapat dijalankan sesuai dengan kaidah aslinya.

4.      Peraturan Perundangan

Mengenai hukum kontrak (perjanjian) yang bersumber dari undang-undang dijelaskan :

                               a.         Persetujuan para pihak kontrak (perjanjian)

                              b.         UU karena suatu perbuatan, selanjutnya yang lahir dari UU karena suatu perubahan dapat dibagi:

1)    Yang dibolehkan (zaakwaarnaming),

2)    Yang berlawanan dengan hukum misalnya seorang karyawan yang membocorkan rahasia perusahan meskipun dalam kontrak kerja tidak disebutkan perusahaan dapat saja menutut karyawan tersebut karena perbuatan itu oleh UU termasuk perbuatan yang melawan hukum (onreehtsmatige daad) untuk hal ini dapat dilihat pasal 1365 KUHPerdata.[2][5]

Dalam KUHPerdata di BAB ke II tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dalam ketentuan umum dinyatakan :

                          a.         Pasal 1313 : suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

                          b.         Pasal 1314 : suatu perjanjian dibuat dengan Cuma-Cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa meneriama satu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangakan berjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan suatu, berbuat sesuatu atas tidak berbuat sesuatu.

 

D.    OBYEK PERJANJIAN SYARIAH

            Mahal Aqd adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya ada dan membekas. Objek akad ini tidak semata “sesuatu benda” yang bersifat material (ayn/real aset), tetapi juga bersifat subjektif dan abstrak. Dengan demikian, objek akad tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan; benda bukan harta, seperti dalam akad pernikahan; dapat berbentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam upah mengupah, serta tanggungan atau kewajiban (dayn/debt), jaminan (tawsiq/suretyship), agensi/kuasa (itlaq).

            Oleh karena itu, objek akad bermacam-macam sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai, objeknya adalah barang gadai dan utang yang diperolehnya. Dalam akad sewa menyewa, objeknya adalah manfaat yang disewa, seperti tenaga manusia, rumah, dan tanah. Dalam perjanjian bagi hasil, objeknya adalah kerja petani/pedagang/ pengusaha dan hasil yang akan diperoleh, dan selanjutnya.

            Dengan kata lain, objek akad ini sering disebut dengan prestasi, yaitu apa yang menjadi kewajiban dari satu pihak dan apa yang menjadi hak bagi pihak lain. Prestasi ini bisa berupa perbuatan positif maupun negatif. Bentuknya dapat berupa memberikan seuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. (Pasal 1234 KUH Perdata).



 

 


No comments:

Post a Comment